37. Calon Mantu?

25 2 0
                                    

"Sesuatu yang menyebalkan akhirnya datang juga!"
~Milenius

🦋


          Seminggu telah berlalu. Kematian Kenan dianggap sebagai aksi bunuh diri karena tidak menemukan kecurigaan apa pun saat penyelidikan dilakukan. Para saksi pun turut dimintai keterangan termasuk Milen, karena merupakan teman sebangku Kenan. Milen memberikan kesaksian seadanya, bahwa Kenan sedang mengalami depresi akibat kematian sahabatnya secara beruntun, bahkan sempat mendorong dirinya sampai terjatuh sebelum Kenan pergi membolos dan teman yang lain pun ikut mengiyakan pernyataan Milen.

Setelah kejadian itu, Arvin selalu tersenyum bahagia. Abila yang mendengar kabar tentang hubungan keduanya pun turut merasa senang, karna Arvin bisa sebahagia ini, walaupun dari ekspresi Milen terlihat biasa-biasa saja.

Di kantin, Arvin memesan bakso, Milen duduk berdua dengan Abila. Entah perasaan Abila atau bukan tetapi Milen masih terlihat cuek dan dingin kepada Arvin. Penasaran, Abila pun bertanya, "Kamu beneran suka sama Arvin, kan?"

Milen tersenyum kecut, menggeleng pelan lalu berucap, "Menurut lo gimana?"

"Kalau kamu enggak ada rasa suka sama Arvin kenapa kamu menerima cintanya?"

"Gu—"

"Makanan datang," ucap Arvin dengan ceria seperti biasanya, ia menyimpan nampan lalu duduk di sebelah Milen. Abila terus memperhatikan mereka, terlihat sangat kontras memang, yang satu terlihat riang dan bahagia sedangkan yang satunya lagi terlihat biasa-biasa saja.

"Qirane ke mana? Tumben dia belum ke sini," ucap Abila bertanya.

"Ouh, dia mau ke toilet dulu. Nih, baksonya, tadi dia sms minta tolong aku untuk membelikannya," ucap Arvin memberitahu.

"Len, nanti pulang sekolah kamu ke rumah aku, ya?"

Uhuk. Uhuk.

Milen langsung tersedak mendengar ucapan Arvin barusan, kaget. Arvin yang cekatan segera memberikan segelas air putih, dengan sekali tegukan Milen menghabiskannya.

"Kenapa?" Milen bertanya, hubungan mereka tidak seserius itu untuk mengenalkan dirinya pada keluarga Arvin.

"Mamah pengen kenal kamu," ucap Arvin sambil tersenyum malu-malu. Milen merilik, memutar bola matanya malas, seperti anak kecil saja.

"Gue ga—"

"Enggak ada penolakan!" potong Arvin cepat.

"Oh." Kali ini Abila yang berucap, memperhatikan keduanya. Benar kata orang-orang, orang yang sedang jatuh cinta dunia pun seakan milik berdua, melupakan Abila yang dari dari duduk di hadapan Arvin. Abila menunduk, memakan baksonya dengan cepat, sedangkan Arvin mengoceh sendiri menceritakan keinginannya kepada Milen. Qirane yang datang terlambat merasa heran ketika melihat Abila yang terus menunduk sambil memakan baksonya, Arvin bahkan terlihat berbicara dengan bahagia tanpa ada yang menjawab satu orang pun dari keduanya.

Qirane menyenggol lengan Abila lalu berbisik, betanya, "Kenapa?"

"Udah makan saja, dia sedang dilanda virus jatuh cinta," bisik Abila, Qirane yang mengerti pun tersenyum canggung, ia lalu mengambil dan memakan baksonya, ikut menunduk seperti Abila.

🐞🐞🐞

          Di rumah Arvin, Milen tersenyum canggung, sudut matanya melirik sekeliling. Rumah ini terlihat begitu mewah, Milen tidak menganyka kalau Arvin yang berbenampilan culun itu ternyata anak orang kaya.

"Eh, Bu. Enggak usah repot-repot," ucap Milen lalu berdiri, mengambil nampan berisi cemilan dan minuman yang dibawa oleh ibu Arvin. Perempuan itu terlihat masih muda, sama cantiknya dengan Anis–ibunya.

"Enggak, papah. Enggak merepotkan, kok," ucap ibu itu tersenyum, membuat Milen semakin merasa canggung.

"Sejak kapan kamu mengenal Arvin, Nak?" tanyanya, sedangkan yang di bicarakan telah menghilang entah ke mana, seperti sedang membiarkan Milen untuk berduaan dengan ibunya

"Emm ... sejak ... beberapa bulan yang lalu, Bu," Milen berucap dengan kebingungan, pasalnya ia tidak pernah mengingat-ngingat sejak kapan ia mengenal seseorang.

"Anak itu selalu membicarakan tentang kamu ke pada Ibu, wajahnya berubah ceria saat menceritakan hal tentang dirimu," cerita Ibu itu dengan tersenyum. Manis, sangat terlihat jiwa keibuannya.

Milen hanya tersenyum canggung, Ibu Arvin terus menceritakan semua hal tentang cowok itu, Milen hanya menjawab seadanya dan tersenyum. Merasa bosan, tetapi tidak enak kalau ia menyela perkataan orang tua, Arvin juga tidak kunjung datang sejak tadi.

"Silahkan di minum, kamu pasti bosan, ya mendengar semua cerita Ibu."

"Hehe, tidak, Bu. Arvin di mana, ya?" ucap Milen menanyakan keberadaan Arvin. Ibunya yang mengerti langsung memanggilkan Arvin, memintanya untuk segera mengantar Milen pulang.

Arvin langsung turun ke bawah, membuat Milen menatapnya dengan tatapan tajam sedangkan yang ditatap malah cengengesan. "Kalau begitu gu— ... aku pulang dulu, ya, Bu. Asalamualaikum," ucap Milen lalu mencium punggu tangan ibunya Arvin dan berlalu pergi disusul Arvin.

"Hati-hati, ya."

"Iya, Mah," jawab Arvin sambil melambaikan sebelah tangannya.

Abila yang mengintip tersenyum geli saat melihat wajah Milen yang tampak begitu masam sehabis ke luar dari rumah Arvin.

Milen terus diam di sepanjang perjalanan tanpa memperdulikan ocehan Arvin. Sesampainya di depan rumah, Milen segera turun dan masuk ke dalam tanpa menyuruh Arvin untuk mampir terlebih dahulu.

Arvin tersenyum masam. "Mungkin dia masih malu untuk mengenalkan dirinya pada keluarganya," pikir Arvin, lalu mengendarai motornya meninggalkan kediaman Milen yang sebenarnya ia ingin mampir walau hanya sebentar.

####

Haii, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar^^

17 mei 2023

Milenius [END]Where stories live. Discover now