8

11.7K 1K 10
                                    

Kristo sedang mengambil makanan dari bawah. Perutku berbunyi dengan tidak tahu malunya karena aku tidak makan apa-apa sebelum pergi dari rumah tadi. Malu sih, namun, rasa lapar dan lelahku lebih besar daripada rasa maluku.

Aku ingin merebahkan diriku, sungguh. Belum sempat aku kembali berbaring, Kristo muncul dari balik pintu setelah kembali dari cafe membawa hotplate. Wangi rempah-rempah dalam hotplate itu menguar dan masuk ke indra penciumanku.

Growl!

"Pfftt!" Ia tertawa pelan setelah mendengar suara perutku, "sebentar-sebentar. Maaf aku lama membuatnya," ucapnya. Ia menyajikan hotplate di atas meja kecil di hadapanku. Aku cukup malu, namun malu-malu tidak akan membuatku kenyang. 

"Thanks," ucapku.

Ia hanya mengangguk kecil dan duduk di hadapanku. Aku menyesap sendok makanku. Langsung saja mataku membelalak setelah merasakan rasa yang enak menggelitik lidahku, "Siapa yang masak?"

"Aku."

"Ga mungkin!" tukasku tidak percaya. Ia hanya terdiam dan tersenyum tipis seakan mengatakan, You dont believe me? Just try me! "Seriusan?" tanyaku lagi mencoba meyakinkan jawabannya.

Ia mengangguk pelan, "Emang enak banget ya?" tanyanya. 

"Gue seriusan, ini enak banget, lebih enak dari masakan bibik di rumah gue, cobain deh!" Aku mengambil sesendok kuahnya dan meniupnya sebelum menyodorkannya ke hadapannya. Ia menahan senyumnya saat menyesap sesendok kuah.

Dia membuatku bingung. Kenapa beruang ini?

Ia langsung berdeham pelan dan menggaruk lehernya, namun aku bisa melihat senyumnya yang tertahan disana, "It tastes like you." Ungkapnya pelan.

Ah. Aku tersadar dengan tindakanku, aku baru saja menyuapinya.

Aku mendengus, "Shut up! G-gue cuma mau lo nyicipin! Apaan sih!"

Ish! Aku memilih fokus terhadap makananku. Setiap aku ngomong dengan Kristo, semua tidak pernah berjalan sesuai dengan apa yang aku mau. Maksudku, badanku selalu memiliki pikirannya sendiri dan membuatku bertingkah aneh. Kristo membawa pengaruh buruk padaku.

Setelah aku selesai, Kristo mengangkat piring dan gelasku kembali ke bawah. Aku memandang sekeliling kamar ini, hanya ada lemari dua pintu berwarna putih, tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar atau kecil, di sebelahnya ada nakas tempat lampu tidur. Lalu ada meja belajar dengan buku-buku, laptop, dan beberapa foto terpajang di sana. 

Tidak banyak barang disini, bahkan meja kecil tempat aku makan tadi baru saja diangkat dari balik lemari sepatu. Mataku kemudian melihat jam digital di atas meja belajar Kristo yang  menunjukkan pukul 1 AM. Aku rasa harus pulang sekarang.

Hanya butuh kurang dari 5 menit untuk Kristo kembali dari cafe. Aku langsung berdiri dan menatap sekitarku. 

Lah, baju dan celanaku mana?

"Kris, baju gue mana?" tanyaku. Ia mengalihkan pandangan matanya, membuatku curiga,"Oya, kenapa gue ga pake baju dan gue make boxer lo?" selidikku penuh curiga.

"Kau muntah tadi, j-jadi bajumu direndam di kamar mandi," jelasnya, "kenapa?" tanya Kristo balik.

Oh, aku kira dia mencuri kesempatan tadi. Tapi tetap saja, bisa-bisanya aku muntah. 

Tunggu, aku baru sadar akan kenyataan boxerku diganti. Kalau dia mengganti boxernya, berarti... Mataku memicing tajam menatapnya.

"Sumpah, aku tadi cuma ganti aja, ga diapa-apain!" Ungkapnya dengan cepat. 

Aku menghela nafasku lega. Aku akhirnya memilih melangkah menuju pintu keluar, "Yaudah, Thanks buat makanan dan tempat tidurnya, gue mau cabut. Baju lo, gue balikin besok."

Begitu aku melalui dirinya, tangan Kristo menarik tanganku membuatku terhuyung dan membuat kakiku berusaha menjaga keseimbangan. "Apa lagi?" tanyaku dengan malas. 

"Kau belum bisa pulang, di bawah ada, eng apa itu namanya, 'b- b- big party time'? Iya dibawah lagi ada itu!" tuturnya sembari menggelengkan kepalanya tanda aku tidak boleh pulang.

Big Party Time? Aku memutar bola mataku malas, ini salah satu modusnya. Aku tidak sebodoh itu. Ini cafe bukan klub, Aku menepuk  sisi lengannya, "Gue harus pulang."

Kakiku melangkah kembali, mataku mencari sepatuku di pintu masuk, tidak ada sepatuku disini. Apa terkena muntah juga? Aku langsung mengambil sendal Kristo yang ada di rak sepatu paling bawah dan memakainya. Sendal ini sangat besar, berapa sebenarnya ukuran kakinya?

Tunggu sebentar, aku tidak bisa pulang begitu saja. Handphone, dompet, dan kunci motorku dimana?!

Aku menoleh ke arahnya, ia mengalihkan matanya untuk tidak bertatapan denganku. "Kris, barang gue yang lain mana?" tanyaku. Jarinya kembali menggulung kecil ujung bajunya sampai akhirnya ia tersenyum canggung dan menggeleng pelan. 

"Serahin ga?!" semburku dengan emosi menggebu. Bukannya takut, ia malah lari ke arah tempat tidurnya dan menggulung tubuhnya dengan selimut tebal.

Beruang idiot!

"Balikin barang-barang gue!" teriakku sembari melangkahkan kakiku dengan hentakan keras dan memukul badannya yang bergulung dalam selimut tebal, "Kristo, gue lagi ga main-main!" Tanganku terus memukul-mukul selimut yang menutupi dirinya. Aku bisa mendengar cekikikan dari dalam selimut.

Bisa-bisanya dia ketawa? Oke Rey, kau harus tenang dan sabar. Jangan emosi. Tarik napas dan buang. Beruang sinting ini harus dilembutin. 

Aku berhenti memukuli selimut itu dan duduk di sisi ranjang dengan tenang, "Oke, i'll stop it. Come out!" perintahku.

Ia menyembulkan kepalanya dari balik selimut yang dari tadi menjaga dirinya dari pukulan-pukulanku yang pedas. "Please, could you stay a little...longer?" pintanya dengan wajah memelas. Suaranya yang berat itu tidak cocok dengan wajahnya sekarang.

Dan lagi, wajahnya, tatapan mata coklatnya yang menembus mataku, ini lagi-lagi membuat jantungku tidak tenang. Aku merasa pipiku memanas. Sial, aku berpikir dia sangat manis barusan.

Tidak. Rey, tidak adalah tidak. Kau harus pulang.

"Ga, gue mau pulang."

Kristo menundukkan kepalanya, "Padahal aku sudah gendong Rey sampai sini, udah gantiin baju Rey yang kena muntahan, udah masa—"

Aku membungkam mulutnya untuk membuatnya diam. Astaga, beruang ini sangat perhitungan. Aku berdehem dan mengambil bantal, "Oke. Tapi awas aja lo lakuin hal aneh pas gue lagi tidur!" ancamku.

Ia tersenyum menampilkan deretan giginya dan mengangguk. Ia segera membuka gulungan selimutnya dan mengangkat tubuhku—yang mungkin seperti kapas baginya—ke sisi lain tempat tidur, dekat dengan jendela.

"Gue bisa tidur di bawah," keluhku.

Ia menahan pergerakan tubuhku dan menutup tubuhku dengan selimut putih besarnya, "Nah, sekarang tidur yang nyenyak."

Ia beranjak kemudian memutar switch saklar lampu yang ada di samping meja belajarnya ke arah off. Kamarnya tidak menjadi terlalu gelap karena cahaya dari papan nama klub yang ada di luar.

"Good night, Rey." Ia menarik selimut yang menutupi tubuhku untuk membagi dengan tubuh besarnya. Selimut ini sangat besar sehingga bisa menutupi tubuh kami berdua.

Aku tidak membalas ucapannya dan memilih terlelap dalam tidur. Ini hari yang sangat melelahkan. Mungkin memilih untuk tidur di tempat ini adalah pilihan yang bagus. Jika aku pulang ke rumah, aku akan menghabiskan waktu 30 menit berhargaku di jalan.

Author's note:
HALO! Aku sebenarnya udah ngestok cerita ini ampe beberapa episode ke depan, tapi makin lama alurnya jadi sedikit rumit, nah karena aku mau cerita ini berisi ke-fluffy-an antara RiRy doang, jadilah aku menghapus semua part yang sudah di stok. Jadi, maaf ya kalau ceritanya lama update! Mianhae!🙏
Anyway, tungguin cerita ini ya!
Dan terakhir, jaga kesehatan kalian dengan tetap di rumah aja agar bumi pertiwi semakin membaik♡♡ See you!

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Where stories live. Discover now