29

6K 524 8
                                    

Sebelumnya,

"Kristo?"

Mataku memicing, memastikan ini benar-benar dia. Iya, itu memang Kristo! Aku menjatuhkan badanku di trotoar dan menangis. Aku menangis sekencang  yang aku bisa seperti anak kecil, "Kristo!" Panggilku di sela tangisku.

Suara motor semakin mendekat, ia menghentikan motor di pinggir trotoar dan segera menghampiriku. Tangannya yang besar merengkuhku erat dan mengelus punggungku. Tangisku semakin menjadi-jadi dibuatnya.

***

Aku merasakan mataku memanas dan membengkak. Aku bahkan sedikit kesulitan melihat. Sekarang, aku berada di kamar Kristo. Aku memintanya membawaku untuk pergi dari rumah saat ia menemukanku dekat gerbang perumahan. Sepanjang perjalanan aku menangis, sebenarnya aku bahkan tidak tahu apakah tangisku ini karena orang tuaku yang aku kecewakan atau karena aku takut hubunganku dengan Kristo akan berakhir.

Mungkin juga karena keduanya.

Ia membuka pintu kamar dan muncul dengan nampan dengan mangkuk yang dari aromanya aku bisa mencium isinya adalah sup tahu, semangkuk nasi, dan gelas yang aku tidak tahu apa isinya.

"Aku membawakanmu makanan, kau belum makan, 'kan?" Tanyanya.

Ia meletakkan nampan di atas meja belajarnya dan mempersiapkan meja kecil di dekat tempat tidur. Aku turun dan duduk di atas bantal duduk yang sebelumnya aku tidak ingat ini ada di kamarnya.

"Kapan lo beli ini?" Tanyaku dengan suara parau.

"Apanya?" Tanyanya sembari mengangkat nampan dan menyajikannya di depanku.

"Bantal duduk."

Tanganku langsung menerima sendok yang disodorkan Kristo kepadaku. Isi gelas putih tadi adalah susu vanilla yang beraroma sangat manis.

"Setelah kau datang kemarin. Aku gamau kau masuk angin karena duduk di lantai," jelasnya.

Aku mengangguk pelan, diam-diam aku merasa senang. Tanganku menyendokkan sesendok penuh kuah sup tahu ke mulutku. Begitu kuah itu menyentuh lidahku, aku tersenyum lebar.

"Lo harus jadi koki!" Ungkapku sembari terus menyuapkan kuah sup hangat.

Tak ada jawaban darinya membuatku menoleh ke arahnya dan menghentikan suapanku. Ia hanya menatapku dengan senyum tipis di bibirnya. Tatapan mata coklatnya masih sama seperti pertama kali aku mengenalnya. Mereka—kedua matanya—membuat jantungku berdegup gugup, namun aku senang dengan perasaan ini sekarang. Aku memalingkan wajahku yang mungkin akan memerah.

"Berhenti liatin gue, muka gue bisa bolong."

Ia meloloskan kekehan kecil dari bibirnya. Mendengar itu, aku sedikit lebih tenang. Tiba-tiba aku teringat akan lomba yang harusnya Kristo ikutin. "Loh iya, lomba lo gimana?"

"Aku minta digantiin, alasannya aku sakit perut," jawabnya.

"Eng... sorry, kalau ga karena gue, lo pasti bisa ikutin lombanya," ucapku menyesal. Kalau saja aku tidak berulah dan mencium pipinya saat itu.

Ia menggeleng, "Sebenarnya aku ikut lomba supaya bisa pamer badanku padamu, kalau kau ga ada ya ngapain aku ikut lomba?"

Aku terkekeh pelan mendengar jawabannya yang sangat jujur. Tiba-tiba ia berdehem pelan, "Kau tau, kau tak mungkin selamanya lari dari orang tuamu, tapi... tunggu, kau gapapa aku bahas ini?" Tanyanya.

Aku mengangguk tidak semangat, "It's okay."

Aku dapat melihat lengannya yang bergerak-gerak, aku yakin ia sedang memelintir tepi bajunya yang ada di bawah sana. Kenapa dia menjadi gugup?

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang