10

10.8K 969 11
                                    

Aku mengerjapkan mataku. Masih berusaha mencerna keseluruhan kalimat yang mampu membuat perutku tergelitik. Aku? Pacar Kristo? Aku berusaha membantah namun jantungku memacu deras darahku sehingga aku merasakan pipiku memanas.

"Hahahaha, om bercanda kok!" Gelak tawa Pamannya Kristo terdengar sangat dalam. Namun, itu tidak penting sekarang. Aku hampir saja membayangkan aku menjadi pacar Kristo, "oh iya, kenalin, saya Panca. Kamu boleh panggil saya om Panca. Saya pamannya Kristo yang buka Café ini." Dia mengulurkan tangannya.

Aku menyambut tangan Om Panca, "Saya Rey. Tem- eng...teman satu sekolahnya Kristo." Tidak ada yang salah. Aku emang teman sekolahnya Kristo.

Om Panca tersenyum lalu melepas jabatan tangannya. Kami saling tersenyum dan aku tahu sekali posisi kami ini sangat canggung. Kenapa dia tidak menyuruh aku makan? Apa aku harus makan duluan? This is so awwwwkkkkward?! Tak kusangka aku merindukan kehadiran Kristo disini!

"Kalian ngapain?" tanya Kristo yang masih berada di tangga. Aku menoleh ke sumber suara. Ia melangkah turun dengan baju polo dan celana training hitamnya. Boleh kuakui dia cukup tampan.

"Oh iya, sini Kristo. Kita makan bareng-bareng," panggil Om Panca menyuruh keponakannya untuk duduk di sebelahku.

Kristo tersenyum melihatku. Baru aku sadari kalau aku memperhatikannya daritadi. Mataku mengalihkan pandanganku ke hadapan telur mata sapi, bacon, dan sosis yang ada di piringku. Om Panca menuangkan susu coklat panas ke masing-masing gelas sembari bersenandung pelan. Senyumnya tidak pernah pudar, ia tampak senang. Makanan lainnya yang tampak ada di meja adalah 5 lapis pancake, sebotol madu yang sudah tersisa setengah, dan semangkuk beberapa jenis buah beri.

"Silakan makan." Om Panca mempersilakan kami makan.

Aku menyeruput coklat panasku terlebih dahulu lalu mengambil garpu dan pisau untuk memotong makananku. Suasana café ini sangat tenang, jalanan yang ada di depan juga lengang. Mungkin karena ini adalah hari sabtu atau mungkin karena ini daerah yang aktif setelah matahari terbenam.

"Kamu kok bisa dekat sama Kristo?" Tanya Om Panca. Aku mengernyitkan keningku? Ini maksudnya dekat atau 'dekat'? Aku ragu untuk menjawab mengingat pertemuanku dengan Kristo selalu diawali kejadian vulgar dan diakhiri adu tinju, "Kristo anaknya pendiam, kalau dihitung-hitung orang yang pernah dibahasnya selama dia sama om cuma... dua."

"Cuma dua, Om?" tanyaku balik.

Om panca mengangguk, "Iya, cuma kamu sama Elia. Kamu bukan temannya Elia?" Tanya Om Panca. Aku menggeleng pelan.

Berarti sebelum aku, ada orang lain selain aku. Elia nama perempuan, berarti pacar atau mantan Kristo, 'kan?

"Elia pacarnya Kristo, Om?" tanyaku.

Kristo terbatuk dan memukul-mukul jantungnya. Tangannya mengambil segelas susu coklat hangat dan meneguknya. Om Panca hanya tertawa puas mendengar pertanyannku. Kristo menatapku tak percaya.

"Mantan?" tanyaku lagi.

Kristo menatapku semakin bingung, ia menggeleng pelan, "Elia itu perempuan."

Aku mencoba membuat otakku bekerja. Iya, justru karena Elia perempuan? Apa yang-?

gay. Aku lupa!

"Aku gay." Kristo menyatakan pernyataan yang sangat terbuka.

Aku menutup bibirku rapat lalu menggaruk keningku. Suara tawa Om Panca masih terdengar. Tepatnya, Ia cekikikan karena berusaha menahan tawanya. Kristo mengambil kembali pisau dan garpunya lalu kembali makan.

"Om kira, kamu sudah tau soal itu." Perkataan Om Panca masih diselingi dengan sisa tawanya. Ia mengusap air matanya yang hampir keluar karena tertawa dengan puas.

"Sudah tau, Om. Tapi, lupa..." gumamku pelan. Aku kembali melanjutkan makanku.

Kami melanjutkan sarapan kami dengan bincangan sederhana. Dari cerita Om Panca aku baru tahu kalau Kristo sudah come out dari umur 14 tahun, Elia adalah teman pertamanya di kota ini, dan sejarah Café Ovelia ini terbentuk. Tak lupa juga bagaimana proses Kristo menemukan talenta memasaknya di café ini. Panjang sekali obrolan kami ini sampai 5 lapis pancake yang disediakan sudah habis dan segelas susu coklat panas tinggal serbuk yang berada di dasar gelas.

"Aku antar Rey dulu baru ke taman." Kristo berdiri dan mengulurkan tangannya ke arahku.

Secara otomatis aku meraih uluran tangannya dan berdiri mengikutinya. Kenapa aku memegang tangannya? Aku menatapnya sinis dan melepas genggaman tangannya. Si beruang tukang modus ini! Netraku mengalihkan pandangan ke arah Om Panca yang mencoba menahan senyumnya dengan mengulum bibirnya.

"Om, Makasih sarapannya, Rey pulang dulu," ucapku.

Om Panca berdiri lalu mengangguk pelan, "Oke. Lain kali jangan lupa mampir ya, hati-hati di jalan. Pegang tangan Kristo biar ga jatuh." Om Panca menepuk punggungku bersahabat.

Aku tersenyum lalu pergi diikuti oleh Kristo. Setelah keluar dari café aku menghela nafasku panjang. Mengapa aku merasa malu?

"Mau pegangan tangan? Nanti kau jatuh." Ia berusaha mengolokku. Kenapa juga aku secara otomatis memegang tangannya? Kenapa tubuhku memiliki otaknya sendiri? Aku berjalan lebih cepat berusaha meninggalkan Kristo yang terkekeh di belakang.

"Maaf," ucapnya, "maaf karena aku langsung bilang suka." tambahnya.

Aku memperlambat langkahku mencoba menyejajarkan langkah kami.

"Maaf juga karena udah buat kau merasa ga nyaman, aku hanya sangat menyukaimu." Aku melirik tangannya yang bergerak memelintir tepi bawah baju polonya. Sudah beberapa kali aku melihat kebiasaannya ini.

"Hm..." Jawabku singkat.

"Mungkin kita harus mulai dari teman?" Tanyanya. Aku berhenti dan melihat dirinya yang sedang menunduk sangat dalam, "mau jadi temanku?" ucapnya sembari mengulurkan tangannya.

pfft...

Aku menutup mulutku yang sembarangan tertawa. Tapi, siapa yang mengajak orang berteman dengan cara seperti ini di zaman sekarang? Ia bahkan tidak berani menatapku, kemana orang yang tadi pagi menggodaku dengan berani?

Tanganku meninju lengan kirinya pelan, "'Kan kita memang teman? Thanks ya buat tadi malam, mungkin kalau ga gara-gara lo gue udah diangkut ama polisi."

Ia tersenyum lebar dan mengangguk pelan. Kami kembali melangkah menuju club tadi malam, yang papan namanya sudah kelihatan. Aku melihat motorku yang menjadi satu-satunya motor yang terparkir di depan club yang tadi malam aku kunjungi. Tanganku merogoh kantung celana dan mengambil kunci motor. Aku langsung memakai helm dan naik ke atas motor.

"See ya!" Ucapku sembari menghidupkan motor.

Kristo membuka kaca helmku dan mengecup bibirku. Mataku membelalak dan lagi, jantungku berdetak tak karuan. Ia melepas ciumannya dan tersenyum kaku, "M-maaf, aku ngerasa tadi- pokoknya sorry! Hati-hati di jalan!" teriaknya sembari berlari kencang kembali ke arah café Ovelia.

"Lo gila ya?!" Aku memegang bibirku seperti seorang gadis perawan. Mataku memandang ke sekeliling dengan cepat dan melihat tidak ada orang di sekitar sini.

Haish! Teman head father you!

Buru-buru aku menurunkan kaca helmku dan melajukan motorku kencang. Panas sekali pagi ini!

Aku minta maaf sebagai author yang kurang bertanggung jawab. Alasanku cuma, kuliah komputer semester 3 dan 4 benar-benar mengambil 10 tahun jangka hidupku. Alias aku ga bisa fokus ke ceritanya karena kuliah╯﹏╰

Maafkan Author≥﹏≤

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang