33

5.3K 535 34
                                    

Kami duduk di bawah pohon yang ada di belakang restoran. Angin berhembus cukup pelan membuatku sedikit merasa kedinginan, namun rasa panas yang ada di tubuhku lebih tinggi daripada rasa dingin ini. Aku gugup.

Sejujurnya, aku tidak pernah tahu akan segugup ini menghadapi seseorang. Namun, laki-laki yang di sampingku bukan makhluk biasa. Dia makhluk astral, tidak normal, dan suka menghilang.

"Lo, lo kalau gamau bicara, biar gue pulang aja," ucapku langsung berdiri.

Ia menarikku untuk kembali duduk. Kulihat wajahnya, ia tidak seperti Kristo yang dulu. Ia jauh lebih dewasa sekarang ini. Namun, matanya masih tetap sama, mata cokelat yang menatapku sama seperti awal kami berjumpa. Bolehkah aku berharap dia masih mencintaiku?

Hahaha! Hentikan pikiran aneh ini, ia meninggalkanku dan kebetulan kami berjumpa disini.

"Pukulanmu masih sama sakitnya," ucapnya sembari terkekeh canggung.

Aku tidak tahu harus menjawab apa sehingga akhirnya kami kembali diam untuk beberapa saat.

"Jadi, kau apa kabar?" Tanyanya lagi.

Aku tersenyum tipis, "Baik. Sangat baik."

Tidak, aku tidak baik-baik saja.

"Baguslah," tanggapnya singkat.

"Lo kerja disini?" Tanyaku canggung.

Ia mengangguk, "Iya, sekaligus pemilik restoran ini."

Aku membulatkan mataku dan mengangguk, "Wow, congratz!" Selamatku. Aku cukup kagum dengan hal itu. Dia seperti orang yang jauh lebih dewasa daripadaku.

Kemudian, ia tidak berkata apa-apa lagi. Beruang ini tambah bodoh sepertinya. Berengsek maksudku. Berengsek ini tambah bodoh.

Aku menyikut lengannya pelan sembari tertawa renyah, "Cuma itu doang yang mau ditanya?"

Ekor mataku menangkap tangannya yang memilin ujung apron di lututnya. Kebiasaan lamanya masih ada. Tapi, kenapa dia gugup? Apa karena aku? Tidak, pasti dia punya alasan lain selain gugup. Kenapa aku selalu berharap dia masih mengharapkanku?

Bodoh sekali.

"Engga, aku... Aku senang bertemu denganmu," ungkapnya, "sebenarnya aku memang berencana untuk bertemu denganmu di kota ini. Tapi, ak-"

"Berencana bertemu?" Tanyaku bingung.

Ia mengangguk, "Iya, aku bertanya pada Bang Kai dimana kau tinggal karena aku tidak bisa menghubungimu. Kau mengganti nomormu sepertinya." Jelasnya.

Ah iya, aku mengganti nomorku setelah hal itu terjadi. Aku takut untuk menerima panggilan atau pesan darinya, jadi aku mematikan nomorku.

"Ya, gue gamau lo hubungin gue lagi. Lo ninggalin gue, Kris!" jawabku sembari tertawa pelan, "gue ga mau ada urusan dengan lo lagi harusnya," lanjutku sinis.

"Rey..." panggilnya pelan.

Aku menarik nafasku panjang lalu mengembuskannya dengan tenang. Aku tidak boleh panik, aku harus tenang. "Dengar ya Kris. Gue udah lupa sama lo. Gue sebenarnya ga mau lagi bicara sama lo seperti ini," bohongku,

"gue yakin lo tau alasannya kenapa. So, just forget about me. Well, maybe you already done that. But, please, just done talk to me again." Aku berbohong. Aku membohongi diriku lagi.

Aku tidak berubah, egoku masih tinggi.

Aku tersenyum lebar, "Makasih buat diskon yang restoran lo kasih, tapi kayaknya gue ga bakal datang lagi kesini."

Sial! Air mataku hampir jatuh, aku harus segera pergi!

Kakiku melangkah menjauh, namun tangannya menarikku lagi. Ia tidak memaksaku duduk, hanya menahanku untuk tidak pergi. Lepasin bangsat, nunjukin air mata gue di depan lo lagi adalah hal terakhir yang ingin gue lakukan. Aku menggoyangkan tanganku mencoba meloloskan diri.

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Where stories live. Discover now