16

10K 860 16
                                    

Pijar cahaya yang tersisa di kamar ini, hanyalah lampu tidur yang menyala di atas meja belajarku. Suasana malam ini sangat sepi, berbeda dengan suasana kamar tidur Kristo yang samar-samar masih terdengar suara lalu lalang orang di lantai bawah.

Badanku telentang dengan kaku dan jantungku berdegup kencang. Kami memutuskan untuk tidur bersama di atas tempat tidur. Ia bersikeras akan tidur dimanapun aku tidur. Walaupun itu di sofa kecil yang tadi.

Kristo sangat keras kepala!

Waktu masih menunjukkan pukul 22.00. Namun, karena kami 'sangat' gugup, kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan saat menginap. Dia tidak punya teman selain Elia dan aku tidak pernah menginap dengan temanku.

Aku bisa mengajaknya untuk menonton film melalui mini proyektor milikku, tetapi besok kami harus bangun pagi seperti rencana awal Kristo.

"Kau sudah tidur?" tanyanya memecah keheningan di antara kami.

"Belum. Lo kenapa belum tidur?" tanyaku balik.

"Ga bisa tidur," ucapnya, "aku sangat gugup. Perasaan ini berbeda dari saat di kamarku," jelasnya.

"Karena sepi?"

"Karena, karena kita sudah punya hubungan?"

Aku menolehkan kepalaku dan menatap wajah Kristo yang terkena pias cahaya lampu tidur, terlihat jelas pipinya memerah. Ia bahkan masih sempat memilin ujung bajunya. Aku terkekeh pelan, "Lo itu beda banget dari saat kita pertama bertemu." Badanku kuposisikan menyamping menghadap Kristo.

Ia menoleh ke arahku, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena membelakangi pijar cahaya. Namun, aku tahu mata coklat mudanya itu menghadap ke arahku dan menaruh penuh perhatian terhadapku.

"Lo dulu berani nonton gue dari dalam loker, narik tangan gue ke kamar mandi sampe nyium gue disana," candaku untuk menggodanya, "if my memory serves me right, lo juga pernah ngasih gue fella-"

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, tangannya menutup mulutku. Aku terkekeh sehabis puas menggodanya. Aku harap pipinya semerah yang ada di bayanganku.

Dia menarik telapak tangannya dan menutup wajahnya. Ia pasti malu sekali membayangkan kejadian itu, "Maafkan aku untuk yang waktu itu, I'm the worst!" gumamnya malu.

"Yup, you are."

Tanganku lalu meraih tangannya untuk tidak menutupi wajahnya. Kemudian tanganku naik kembali untuk mengusap pipinya pelan.

"Aku punya banyak ketakutan sekarang, hubungan kita bisa dibilang dekat tapi ga dekat. Kau bisa saja menjauh dariku tanpa mengatakan apa-apa dan aku tidak bisa berbuat apa-apa," ungkapnya.

Ibu jariku tak berhenti membelai pipinya. Aku bahkan tidak pernah terpikir untuk menjauh. Sekarang, aku memang masih ragu untuk menyukainya, tapi aku tidak ada niatan untuk menjauhinya. Segala yang ia lakukan membuatku makin tertarik padanya. ia kesal dengan caranya, ia menggoda dengan caranya, ia melindungiku dengan caranya, dan ia menyukaiku dengan caranya.

"You talk nonsense again," ejekku, "stop overthinking over something that will never happen," sambungku. Jariku turun dari pipinya ke dadanya yang bidang. Ia hanya diam saat aku memainkan jariku di dadanya.

"I will stay," tambahku lagi.

Kami berdua terdiam, sampai tangannya yang besar kini mendekap seluruh badanku dan menarikku mendekat ke arahnya. Ia memelukku dan menyalurkan hangat badannya padaku. Hidungku bisa menyium aroma Kristo yang selalu aku suka.

See, aku bahkan menyukai wanginya. Ia hanya terlalu khawatir.

***

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Where stories live. Discover now