22

6.2K 646 3
                                    

Jarum jam hampir menunjukkan pukul 6 sore, sekolah sudah selesai tiga jam yang lalu. Matahari sudah mulai berotasi menuju barat, cahaya jingganya masuk ke dalam kelas. Hanya ada aku dan beberapa murid lainnya yang tinggal di dalam kelas.

Tapi, ini pertama kalinya aku tinggal di dalam kelas untuk mengerjakan tugas. Aku terasa seperti murid sungguhan saat ini.

Mata dan otakku mulai panas. Terlalu banyak soal matematika yang aku kerjain selama dua jam ini. Namun, untung saja semuanya dapat terselesaikan dengan bantuan Dio.

Kususun dengan rapi buku dan kertas corat-coret di atas mejaku ke dalam satu tumpukan. Buku dan segala kertas itu, kecuali kertas tugasku kumasukkan ke dalam loker yang berada pada bagian belakang kelas.

"Di, ga balik?" tanyaku pada Dio yang masih berfokus pada kerjaannya.

Ia menoleh lalu tersenyum, "Benter, masih ada tiga halaman lagi. Dikit lagi siap!"

Aku yang berniat pulang memutuskan untuk duduk kembali, "Gue tungguin, skalian gue nunggu Kristo."

Sebentar lagi Kristo akan pulang dari les, aku akan menunggunya, jangan sampai anak itu kabur lagi. Dio mengangguk lalu kembali mengerjakan tugasnya. Kubuka ponselku dan melihat Kristo masih belum juga membaca pesan yang aku kirim sejak tiga jam yang lalu.

Aku menghela nafas panjang dan mengirim pesan lagi.

Lo plg sama gw. Gue tunggu d parkiran.

Sent!

Aku harus pulang sama Kristo, apapun yang terjadi.

15 menit kemudian, Dio meregangkan badannya dan menoleh ke arahku. Aku tidak menanggapi apa-apa karena masih sibuk dengan permainan UNO.

"Skuy, turun!" ajaknya padaku.

Aku mengangguk pelan, "Wait, tinggal 1 menit lagi!"

Aku tinggal memetik hasil kemenanganku dari UNO ini. Dan...

"Yes, Yahoo!!! Super Big win!" Teriakku yang mengejutkan murid yang masih tertinggal dalam kelas. Aku tidak peduli, aku memenangkan 7k coins karena peruntungan tanganku kali ini sangat bagus.

Aku menatap Dio yang juga menatapku dengan lembut. Ia tersenyum, tangannya terlipat di dadanya sembari duduk bersandar di kursinya.

Aku meledeknya, "Lo berasa model duduk gitu?"

"Ga tau aja lu, gue ni calon model masa depan. Muka uda ganteng, tinggi uda pas, tinggal nyari agensi aja ni!" Dia mengibaskan jaketnya yang memang cukup stylish itu dengan bangga.

Kuakui, badannya yang kurus membuatnya terlihat jangkung, wajahnya yang tegas, ditambah penampilan seperti seorang model membuatku yakin kalau Dio memang bisa menjadi model terkenal.

"Iya deh iya, calon model~" ejekku sembari mengacak rambutnya gemas. Dio terdiam cukup lama, sampai aku harus mengajaknya lagi dari depan pintu, "Lo yakin ga pulang?"

"Eh iya," ucapnya dengan wajah memerah dan bingung.

Aku dan Dio berjalan keluar dari kelas sembari tertawa. Lebih tepatnya, aku banyak mengejeknya karena wajahnya memang mudah sekali memerah. Dio sangat lucu dan aneh menurutku.

Gubrak!

Kami menghentikan tawa kami. Aku menoleh ke sumber suara. Kelas Kristo. Kutajamkan netraku saat melihat ada dua orang yang berada dalam posisi cukup aneh. Salah satu berada di bawah dan satunya lagi berada di atas.

"Itu bukannya-"

"Kristo!" Pekikku langsung memotong ucapan Dio.

Aku membuka pintu kelas dengan cepat dan menghampiri Kristo yang posisinya sedang tertidur di lantai. Kudorong pria yang tak lain adalah Edi, yang duduk di atas Kristo. Kutarik tangan Kristo dengan kuat sehingga mau tak mau Kristo berdiri. Dia tergopoh dan berdiri di hadapanku. Kemudian, Kristo menunduk dan menatapku dari balik kacamata bulatnya.

Dari sini aku bisa menatap lurus netra coklatnya. Aku merindukan mata itu. Ia memilin ujung bajunya seperti biasanya. Dia gugup. Apa karena kejadian tadi? Tapi, tadi mereka ngapain? Aku ingin memeluk Kristo dan membersihkan jejak Edi dari dirinya, tapi apa hakku? Aku,

"Rey, It's no-"

Aku rindu Kristo. But still, he's not mine.

Nafasku tercekat, aku sulit untuk berbicara. Mataku panas, seakan air mata akan keluar dari mataku.

"H- hati-hati."

Begitu aku mengatakannya, aku beranjak pergi dari hadapannya. Aku berjalan dengan cukup cepat. Langkahku terhenti ketika Dio menahan tanganku. Aku tidak bisa melihat siapapun saat ini, aku tidak mau terlihat untuk dikasihani.

"Lo kenapa?"

Aku menarik nafasku, kutolehkan kepalaku ke arah Dio lalu tersenyum, "Skuy balek!"

Dio menatapku dengan... kasihan? Aku sudah tersenyum, aku tidak menangis. Kenapa wajahnya seperti itu. Aku melepaskan tangan Dio yang memegang lenganku.

"Rey!" Panggil Kristo.

"Kalau gitu, gue duluan ya!" teriakku.

Kakiku melangkah tergesa turun ke bawah, aku tidak berani menoleh ke arah Kristo. Aku takut. Aku benci perasaan aneh yang membuatku gusar ini. Seharusnya aku menarik Kristo dan membawanya pulang. Kenapa aku malah lari? Kenapa aku aneh sekali?

Kuambil kunci motor dari kantung celanaku. Belum sempat aku mengeluarkannya, seseorang menarikku ke dalam dekapannya. Aku menghidu wanginya yang khas. Ini Kristo.

"I, im sorry. Tadi, aku terjatu-"

"Hngh...hiks..." Aku menangis ketika mendengar suaranya.

Entah mengapa aku sangat merindukan suaranya yang menenangkan. Aku merindukan cengkrama kami, aku merindukan senyumnya, aku merindukan hal-hal yang sangat 'Kristo' di dalam dirinya, aku rindu Kristo.

Dia terdiam, dia tidak berkata apa-apa dan mengelus punggungku ringan. Didekapnya aku dengan erat. Ini baru lima hari tapi aku sudah merindukan semua tentang Kristo.

"L-, nghh, lo ti-, heiks, tiba-tiba dingin. g- gue, t-takut." Isak tangisku tidak dapat berhenti, "L, hng, lo jangan s, sh, shama Edi terus!" Racauku.

Aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang aku bilang. Namun, Kristo tidak bertanya apa-apa, ia hanya menciumi pucuk kepalaku dan merapalkan kalimat yang sama berulang-ulang. I'm sorry.

Sudah 30 menit aku menangis di pelukan Kristo, namun tidak ada tanda-tanda bagiku ingin melepasnya. Aku berani taruhan, baju Kristo sudah sangat basah. Sekarang, kesadaranku mulai muncul, namun tetap saja aku terlalu malu untuk menghadapi Kristo sekarang.

Kucoba melakukan terapi pernapasan, alias menarik dan membuang nafasku secara teratur untuk membuatku lebih tenang. Tapi, bagaimana aku bisa tenang sekarang?

"Kau lelah berdiri? Mau kugendong?" tanyanya khawatir.

Aku segera menggeleng, "G- gue malu."

Kristo sedikit tersedak oleh tawanya, namun dengan cepat ia menghentikannya dan menepuk punggungku lagi, "Kau yakin tidak mau kugendong?"

"Kalau digendong, mau dibawa kemana?" tanyaku masih tidak mau lepas dari pelukannya.

"I dont know, maybe... wherever you want?" jawabnya, "Aku kuat, menggendongmu bukan masalah besar." Aku bisa membayangkan wajahnya yang tersenyum bangga saat ini.

Aku tersenyum lebar dan mendongak melihat wajahnya yang juga tersenyum lebar sepertiku. Namun, ia membulatkan matanya dan melepas pelukannya. "Kau berdarah!" Pekik Kristo.

Aku memicing dan mengelap hidungku, bau amis darah menguar penciumanku. Berikutnya, aku merasakan dunia berputar dan gelap.

JENG JENG
Wkwkwk klise bgt bisa2nya pingsan, cape bgt gw sama cerita sendiri😭
Stay Tune aja deh ya<3

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Where stories live. Discover now