14

8.5K 825 2
                                    

Di zaman yang serba canggih ini, tidak ada lagi yang pernah menawariku nomor teleponnya dengan kertas. Namun, tidak semua orang memiliki cara pendekatan yang sama. Jika kalian kembali ke masa Kristo, si beruang cabul, mendekatiku, tentu saja tidak ada yang berhasil mengalahkan keberanian Kristo. Ia basah saat melihatku bercumbu dengan wanita lain. Mengingatnya membuatku tertawa pelan.

Oops, aku mengabaikan orang di depanku.

Menyadari perempuan ini masih menyodorkan kertas berisi nomornya, aku tersenyum tipis, mencoba menolak perempuan ini sampai aku terinterupsi oleh suara Kristo yang menjerit dari arah belakangku.

"Rey, ayo pulang!"

Aku menoleh ke arahnya lalu melihat ia berlari ke arahku. Mau apa anak ini? Kristo menyampirkan kedua tangannya di bahuku. Aku dapat melihat wajah Kristo masih memandang perempuan itu tajam. Ia berlagak seperti anak-anak yang permen kapasnya direbut.

Kristo menatapku sebentar lalu langsung memutar badanku dan mendorongku keluar dari tempat ini. Sesampainya di parkiran, aku menyodorkan helm yang diterima Kristo dengan cepat. Ia menatapku cukup lama dan berdecak.

"Lo kenapa?" tanyaku.

Ia menggeleng dan mengunci tali helm yang aku gunakan. Setelahnya, tanpa banyak basa basi ia menarik motorku yang membuatku mau tidak mau memundurkan motorku. Ia naik ke boncengan tanpa memegang bahuku seperti biasanya.

Di sepanjang perjalanan dia hanya terdiam, menjawab dengan kata 'hm', 'ya', dan 'tidak'. Aku tidak tahu apa masalah anak ini kali ini, hipotesis paling memungkinkan adalah Kristo lelah. Bagaimana bisa seorang manusia bekerja dengan keras dari pagi sampai sore begini tanpa lelah. Sistem pendidikan terkutuk di negara ini benar-benar menyengsarakan!

Kami memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di Ovélia lalu pulang ke rumahku. Kristo perlu meletakkan barang-barangnya dan mengambil perlengkapan menginapnya.

Motorku berbelok ke daerah malam ini. Setiap memasuki jalan ini, aku selalu kagum bagaimana sebagian besar orang berpakaian terbuka di dinginnya malam begini dan bagaimana tempat ini selalu ramai oleh pengunjung tetapi tidak pernah ada kemacetan parah.

Aku dan Kristo masuk ke dalam Ovélia begitu kami sampai. Ovélia terlihat penuh, lumayan ramai pengunjung, tidak seperti saat aku pertama datang kemari. Om Panca sedang mengantarkan makanan kepada pelayan untuk diantarkan kepada pelanggan. Ia melihatku lalu tersenyum lebar. Buru-buru dilepasnya apron hitam yang menggantung di pinggangnya dan berjalan menuju ke arahku.

"Halo, Om." Sapaku.

"Kamu ga pernah datang!" Ucapnya sembari memelukku hangat. Belum sempat aku membuka kalimat, ia menyelanya, "anak sekolah zaman sekarang sangat sibuk! Om maklum."

Cuma Kristo yang sibuk, Om. Aku cukup santai.

Aku tidak mengutarakan pendapatku itu dan hanya cengengesan mengiyakan pernyataan Om Panca. Mata Om Panca kemudian berbinar lalu melambaikan tangannya. "Sebentar ya!"

"Wazzup, bro!" Om Panca memeluk seorang lelaki yang tampaknya sedikit lebih muda dari dia. Terlihat dari gaya pakaian dan penampilannya yang mungkin baru saja menginjak usia awal 30-an.

Om Panca berbincang sebentar, sementara aku menunggu sembari duduk di salah satu kursi yang kosong. Tak lama, Kristo turun dan menghampiriku. Di pundaknya tersampir tas yang sepertinya adalah perlengkapan menginapnya.

"Dah siap?" tanyaku memastikan sembari berdiri dari kursiku.

Ia hanya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah Om Panca. Om Panca beserta temannya yang aku duga adalah teman lamanya, yang sudah lama tidak berkunjung, menghampiri kami berdua. Teman Om Panca tersenyum lebar kepadaku.

Perawakannya yang lebih tinggi dari Om Panca tetapi tidak setinggi Kristo serta badannya yang cukup proporsional membuatnya tampak seperti model yang keluar dari majalah. Aku membalas senyum ramah yang dilemparkan oleh teman Om Panca itu kepadaku.

Tangan Kristo yang besar menarikku ke belakangnya. Aku bisa melihat tatapan tidak sukanya yang diarahkan kepada teman Om Panca dari sini, "Kami pergi," ucapnya kemudian.

"Eh tunggu!" Cegah Om Panca, "kalian ga makan?" tanyanya.

"Udah Om, mama masak kok di rumah." Ucapku sembari berusaha keluar dari balik punggung Kristo. Ia tidak membiarkanku pergi dari balik badannya yang besar. This shitty bear with his shit personality!

"See u, Om!" Ucap Kristo sembari menarik tanganku.

"Tapi tetap saja, sebentar, tadi Om sudah siapin makanannya kok. Duduk dulu!" Perintahnya galak, Kristo mengalah dan melepas genggamannya dari pergelangan tanganku, "Sebentar ya," ungkap Om Panca sembari berlari kecil melewati kursi kami berdua.

Teman Om Panca berjalan ke arah kami dan duduk di kursi yang ada di hadapan kami. Ia tersenyum lalu membuka suara, "Halo Kristo," sapanya kepada Kristo yang dijawab hanya dengan anggukan. Teman Om Panca menoleh ke arahku, "dan halo..."

"Rey." Sambungku.

"Halo, Rey!" sapanya lagi dengan senyum yang lebar.

Tangan teman Om Panca terulur untuk menjabat tanganku. Belum saja aku membalas jabatan tangannya, Kristo langsung menyambar jabatan tangannya, "Om, ini Rey. Rey, ini Om Griz."

Om Griz tersenyum lalu menyudahi jabatan tangannya dengan Kristo. Om Griz masih dengan senyuman ramahnya, menatapku seperti tatapan peneliti terhadap bahan praktik di lab. Biologi.

"Kamu umur be-"

"16." Jawab Kristo dengan cepat. Ia bahkan tidak membiarkan Om Griz menyelesaikan pertanyaan yang sudah pasti ditujukan padaku.

"Satu sekolah deng-"

"Iya."

"Kenal Kristo darima-"

"Not. Your. Business." Sahut Kristo penuh penekanan.

Om Griz tetap tersenyum bahkan saat Kristo menyahutinya dengan kasar. Om Griz kembali menatapku, "Kamu pacar Kris-"

"Belum." Jawab Kristo bahkan sebelum Om Griz menyelesaikan pertanyaannya. Lagi.

Mendengar jawabannya yang sigap itu aku mengernyit dan mencubit lengannya, "Lo kenapa sih? Yang sopan sama orang lebih tua!" cetusku kesal. Kristo berusaha menjawab, namun aku memotongnya dengan kesal, "geser lo, gue tunggu di luar." Aku mendorong kaki Kristo agar aku bisa keluar. Aku tersenyum kepada Om Griz, "permisi, Om," pamitku pelan lalu berlalu pergi.

Aku memasang helmku dan mengeluarkan motorku dari parkiran. Si beruang bodoh ini sangat mengesalkan, dia memotong segala pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Aku tidak pernah mengingat merekrutnya jadi juru bicaraku.

Tak berapa lama terlihat Om Panca melambaikan tangannya sembari melanjutkan isyarat untuk memakan masakannya. Aku mengangguk dan melambai. Kristo keluar dari balik pintu kaca membawa tas dan kotak makanan yang dibungkus oleh Om Panca.

Kristo menghampiriku dengan wajah cemas, "Rey, tad-"

Aku menyodorkan helm yang biasa dipakai oleh Kristo, "Naik," perintahku dengan penekanan dan refleks Kristo langsung memakai helmnya lalu naik ke boncengan. Aku menghidupkan motorku dan berlalu pergi.

Jarak rumah dan Ovélia cukup jauh. Namun, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari antara kami berdua. Ia bahkan tidak memelukku atau menyandarkan dagunya ke bahuku seperti biasanya. Dari kaca spion aku tidak dapat melihat wajahnya seperti biasanya, ia menunduk. Apa aku terlalu keras?

Beruang gede ini menjengkelkan!

Aku membuka kaca helmku, "Gue ga ingat pernah jadiin lo juru bicara gue!" Sindirku sembari melambatkan laju motorku.

"Aku hanya ga mau kau berbicara sama o- orang asing?" Dia terlihat ragu dengan pernyataannya.

Orang asing katanya?

"Itu bukan alasan. Lo kira gue anak kecil?!" hardikku dengan emosi menggebu.

Tak ada jawaban dari Kristo. Aku menghela nafasku panjang. Tanganku dengan sigap menutup kembali kaca helmku dan mempercepat laju motorku. Beruang gede ini sangat bodoh dan menjengkelkan! Arrghh!

I Love My Big Bear [ 18+ ; BL ]Where stories live. Discover now