Bab 5

6.7K 572 10
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit, tapi Winda belum mendapati suaminya pulang dari kantor. Ia paham, sangat paham dengan kesibukan Prabaswara yang memang memiliki jabatan tinggi dibperusahaan tempat lelaki itu bekerja.

Winda masih setia menunggu kepulangan suaminya. Hari ini hari pertama Prabaswara bekerja setelah mengambil cuti menikah beberapa hari. Ini pertama kalinya Winda menunggui suami yang pulang dari kantor. Jantung Winda berdebar, ini hal baru untuknya. Menjadi istri di usia muda juga bukan keinginannya. Dia punya target untuk menikah di usia dua puluh tujuh tahun. Tapi semua itu hanya rencana, di usia dia yang baru dua puluh dua tahun, dia sudah menikah dan sedang mengandung.

Winda sungguh merasa nyaman di rumah. Banyak kegiatan yang bisa dia lakukan, tapi tadi ia sempat teringat kerja. Dia merasa rindu dengan suasana kantor meski melelahkan. Dia ingin bekerja, tapi dia takut untuk mengungkapkan pada Prabaswara. Winda tahu masa lalu Praba.

Winda mendengar suara mesin mobil yang mendekat. Ia yakin itu mobil Praba. Wanita itu melirik jam dinding yang menggantung, sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Wanita itu bergegas menuju pintu dan membukanya.

Winda memilih menunggu Praba di depan pintu. Tak lama kemudian, Praba datang dengan wajah lelahnya. Lelaki itu menatap Winda sejenak, lalu helaan napas terdengar.

Lelaki itu berjalan mendekat, Winda segera mengulurkan tangannya lalu mencium punggung tangan suaminya. Praba menatap Winda tajam.

"Kenapa kamu di sini?" tanyanya dengan nada yang berusaha dilembutkan.

Winda mendongak. Wanita itu melempar senyum. "Nunggu Mas Praba."

Praba mengusap wajahnya. "Alindra mana?"

"Sudah tidur tadi setelah aku temani." Winda menjawab masih dengan senyumnya.

Praba mengangguk. Lelaki itu mengecup kening Winda. "Ayo masuk! Di sini dingin."

Winda mengikuti Praba masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tepat di samping Praba. Winda mengambil jarak dua jengkal dari tubuh suaminya itu.

"Lain kali nggak usah nungguin saya di depan kayak tadi! Nanti kamu capek, kasian kandungan kamu, Win," ucap Praba dengan lembut.

Lelaki itu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa untuk menghilangkan sejenak rasa penatnya. Winda menatap suaminya dari samping. Lelaki itu benar-benar tampan meski dengan wajah lelahnya. Lelaki itu memiliki garis wajah tegas. Cambang tipis di dagunya menambah kesan dewasa dan gagah. Alisnya tebal pun dengan bibir tebal dengan warna kemerahan sedikit warna hitam karena hobinya meminum kopi dan sesekali lelaki itu juga merokok. Hidungnya mancung meski tak begitu runcing.

Praba membuka matanya, lalu menoleh ke arah Winda yang masih memandangi wajahnya. Praba tersenyum. Winda jelas gelagapan dan segera mengalihkan pandangannya.

"Sudah makan, Win?" tanya Praba.

Winda menjawab tanpa mau menatap Praba, "Belum, Mas. Aku nungguin kamu."

Lelaki itu menegakkan tubuhnya. "Lain kali nggak usah nungguin saya! Kasian bayinya. Dia pasti lapar. Susu kamu udah minum, 'kan?" Winda menggeleng. Praba membuang napasnya. Lelaki itu berjongkok di depan Winda lalu mendekatkan wajahnya di perut Winda. "Kamu pasti lapar ya, Nak? Maafin Mama kamu yang pelupa itu ya!"

Winda mengerjapkan matanya beberap kali. Jantungnya berdebar hebat. Wajahnya kini memanas. Prabaswara benar-benar membuatnya hampir lupa diri.

Lelaki itu segera berdiri, lalu ia tatap Winda. "Kamu tunggu sebentar ya, saya menaruh barang di kamar dulu! Habis ini kita makan!"

Lelaki itu segera berlalu menuju kamarnya. Winda mengusap perut ratanya. Wanita itu segera menggeleng. Ia tak boleh lupa diri. Praba menikahinya karena kasihan, tidak lebih. Windayu mengingatkan dirinya berkali-kali.

Windayu 2 : Bertahan Dalam Pilihan [End]Kde žijí příběhy. Začni objevovat