Bab 10

6.4K 539 20
                                    

Setelah kejadian bertemu dengan Arka, mood Winda langsung terjun bebas selama dua hari ini. Wanita itu memilih bangun siang dan tak ke dapur sama sekali. Prabaswara yang merasakan perbedaan pada diri Winda sering bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia tak sudah gatal untuk bertanaya, tapi memang Winda seperti menghindarinya akhir-akhir ini.

Prabaswara tak tahu kesalahan apa yang diperbuat, hingga Winda menghindarinya. Lelaki itu hanya mengingat saat dirinya meminta istrinya mencium pipinya dua hari yang lalu yang membuat Winda berlari dan setelah itu, Winda menghindarinya. Praba berpikir, mungkin Winda marah karena itu. Wanita itu belum bisa menerimanya dan dia terkesan memaksa. Setelah pulang dari kantor ini, Praba memutuskan untuk berbicara dengan Winda dan dia akan meminta maaf jika Winda belum bisa menerima sentuhan-sentuhan kecilnya. Dia akan berusaha menahan sampai Winda terbiasa dengannya.

Lelaki itu membelokkan mobilnya di sebuah toko kue. Mungkin ia terkesan menyogok Winda, tapi tak apa, semua demi wanita itu. Wanita yang kini membuatnya nyaman dengan segala kesederhanaan dan perhatian-perhatian kecilnya.

Lelaki itu segera keluar dari mobilnya dan membelikan Winda dua kotak brownies rasa cokelat dan tiramisu. Lelaki itu kembali masuk ke mobilnya setelah mendapatkan brownies. Di dalam mobilnya, Praba memandang brownies itu dengan senyumnya. Sungguh dia seperti anak baru gede yang mengalami masa puber.

Prabaswara segera melajukan mobilnya menuju ke rumah yang ia beli satu tahun yang lalu sebelum ia bercerai dengan Gistara. Rumah itu ia beli karena ia mengetahui penghianatan yang dilakukan mantan istrinya itu dan ia tak bisa memaafkan kesalahan yang dibuat oleh Gista.

Sampai di rumah, Praba segera keluar dari mobilnya dengan menenteng brownies yang ia beli tadi. Praba melihat arlojinya. Masih pukul enam kurang lima belas menit. Masih cukup sore untuk ukuran Prabaswara pulang dari kantornya.

Lelaki itu memasuki rumahnya. Dia tak melihat Winda di ruang tamu, tapi dia memdengar suara Alindra dan Winda yang tertawa di kamar anak gadisnya.

Prabaswara melangkah menuju kamar Alindra. Pintu kamar anak berusia delapan tahun itu terbuka lebar, sehingga Praba bisa melihat dua wanita yang berbeda generasi itu duduk di lantai kamar Alindra.

"Seru banget, lagi ngapain sih?" tanya Praba yang membuat kedua orang di dalam kamar serentak menoleh.

Winda tersenyum tipis. "Lagi belajar berhitung, Pa. Alindra udah pinar nih dalam penjumlahan dan pengurangan."

Prabaswara tersenyum. Sudah dua hari dia tidak mendengar suara lembut dan menyenangkan di telinganya itu. Kini sepertinya suara Winda sudah menjadi salah satu candu dalam hidupnya, selain melihat wajah dan senyum wanita itu. Ah, jangan lupakan senyum di bibir Winda benar-benar seperti mengangkat setiap beban yang tadi ia pikul, memberinya udara segar dari segala penat yang menghampirinya dua hari ini yang melihat wajah mendung Windayu.

Praba berjalan mendekat dan mencium Alindra dengan sayang. "Pintar ternyata anak Papa ini."

"Iya dong, Pa. Ma Win soalnya suka ngajarin aku belajar. Kalau Ma Win yang ngajarin, aku jadi lebih paham, Pa," kata gadis itu dengan senyum lebar yang membuat matanya menyipit.

Winda mengusap rambut Alindra. "Alin memang udah pintar, Pa. Sekali diajarin langsung paham. Alindra itu pintar kayak papanya."

Prabaswara tersenyum saat mendengar pujian tak langsung dari wanitanya. Rasanya Prabaswara ingin mencium pipi Winda yang kini semakin berisi itu. Tak apa dirinya disebut bucin, dia tak akan lagi menyangkal kalau hatinya sudah diambil oleh Winda sepenuhnya, tak ada lagi keraguan atau bayangan trauma di masa lalunya.

"Ini saya bawa brownies. Kalian makan ya!" kata Praba sambil menyerahkan dua kotak brownies yang ia beli pada Winda.

"Masa makan di kamar. Kita ke ruang tengah aja yuk!" ajak Winda sambil bangkit dari duduknya. Wanita itu menatap Prabaswara. "Papa mandi dulu sana! Seharian kerja pasti bau."

Windayu 2 : Bertahan Dalam Pilihan [End]Kde žijí příběhy. Začni objevovat