Bab 39

9K 497 32
                                    

Sebulan setelah melahirkan bayi laki-laki bernama Pramatya, Winda kini sedang terduduk dengan rasa haru setelah mendengar seruan dari beberapa orang di ruangan yang merupakan rumah Prabaswara. Kecemasan yang tadi menderanya hilang seketika dan digantikan rasa bahagia tak terkira.

"Sah," ucap para saksi setelah Praba menyelesaikan kalimat ijab dalam sekali tarikan napas.

Winda menatap suaminya yang kini sedang tampak khusyuk berdoa sambil menadahkan tangan. Setelah lelaki itu mengucapkan ijab di hadapan ayah Winda sebagai wali, wajah tegang lelaki itu tampak memudar memancarkan bahagia.

Setelah selesai berdoa, Praba menatap sang istri dan segera mengulurkan tangannya. Winda dengan penuh hati-hati menerima ulurannya dan mencium punggung tangan sang suami sebagai bentuk rasa hormat. Praba mengusap kepala Winda dengan mata yang masih setia berbinar. Penantiannya kini sungguh terbayar.

Setelah Winda mengangkat kepalanya, Praba menahan kepala Winda. Praba mendekatkan wajahnya ke dahi Winda. Lelaki itu tampak berkomat-kamit membaca doa sebelum melabuhkan kecupan hangat di dahi sang istri.

Praba sedikit menjauhkan wajahnya, lalu berbisik pelan, "Selamat datang Nyonya Prabaswara Mahatma."

Winda tersipu malu mendengarnya. Wanita itu menyembunyikan wajah memerahnya setelah Praba benar-benar menjauhkan wajahnya. Lelaki itu tak melenyapkan senyumnya barang sedetikpun. Harusnya dia memang bisa menikahi ulang Winda setelah melahirkan, tapi dia memilih menunggu satu bulan sampai dirinya dan wanita itu benar-benar siap.

Nyatanya, waktu tunggunya tak berakhir sia-sia. Semua terasa terbayar lunas, meski pernikahan kali ini hanya dihadiri seorang wali dan saksi serta keluarga inti dari dua belah pihak. Tapi, semua terasa sangat membahagiakan. Kebahagiaan tak harus dibayar dengan segala kemegahan dan kemewahan, tapi kesederhanaan asal cukup, semua terasa pas.

Mereka kini memberi selamat. Praba bisa melihat senyum di wajah renta sang mertua yang tadi menjadi wali Winda. Lelaki itu seakan mengisyaratkan kepada Praba bahwa ia mempercayakan anak perempuannya pada Praba.

Saat ini, keluarga inti makan bersama sambil mengobrol. Praba merasa dirinya masih ditatap oleh mertuanya. Praba paham, lelaki lebih dari setengah abad itu ingin bicara padanya.

Praba berjalan mendekat, lalu menyapa sang ayah mertua, "Terimakasih, Pak, sudah mempercayakan Windayu pada saya."

Lelaki itu berdehem dan mengangguk. "Saya percaya sama kamu. Saya yang harusnya berterimakasih kepada kamu. Terimakasih sudah menjaga Winda, menyayangi Winda, menerima dia dengan tangan terbuka. Saya minta tolong, selalu seperti itu ya, Nak!"

Praba mengangguk, lalu meraih tangan mertuanya dan mencium tangan renta itu. "Saya berjanji dengan segenap diri saya, Pak. Winda sekarang istri saya sah secara hukum dan agama. Winda sekarang jadi tanggungjawab saya."

Lelaki itu menepuk bahu Praba. "Saya titip Winda ke kamu!"

Setelah mengobrol dengan mertuanya, Praba menghampiri kembali sang istri yang sedang menggendong Pramatya. Lelaki itu melihat sang anak dan mencium pipinya. Praba sebenarnya sangat ingin mencantumkan namanya di belakang nama sang anak, tapi dia memang tidak bisa, sesuai aturan yang ia anut. Di dalam aktanya, nama Pramatya hanya Pramatya Atharrazka tanpa tambahan Mahatma di belakang nya.

"Gantengnya anak Papa," ucap Praba sambil mengusap-usap pipi milik Pramatya. "Maaf ya, Nak. Papa nggak bisa ngasih nama Mahatma di belakang kamu. Sebenarnya Papa sangat ingin."

Dulu saat Winda melahirkan, dia sempat menyematkan namanya, tapi segera dikoreksi oleh sang ayah, karena menurut beliau, Pramatya tidak bisa memakai nama Prabaswara. Ayah Prabaswara memang selalu memberi nasihat-nasihat pada anaknya tentang apa yang boleh dan tidak dari ajaran yang ia anut, dan sampai sekarang Praba selalu menurut dengan sang ayah. Ayahnya dulu juga yang menyarankan sang anak untuk pisah kamar, juga ijab ulang.

Windayu 2 : Bertahan Dalam Pilihan [End]Where stories live. Discover now