Bab 33

5K 429 9
                                    

Winda memainkan ponsel Praba saat sang suami sedang menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi kebuli. Wanita itu mengernyitkan dahinya saat mendengar suara seperti orang muntah-muntah.

Winda mengangkat kepalanya dan mendapati sang suami yang sedang di wastafel dengan hidung dititupi oleh kaus yang dikenakan. Tangannya tampak malas menyentuh daging kambing yang sudah di dapatkan.

Winda berdiri dan menghampiri sang suami. "Kenapa, Mas?"

Praba menjauh dari daging kambing dan menurunkan bajunya. "Aku nggak suka bau kambing. Lebih tepatnya nggak kuat sama baunya, Win."

Winda mengangguk. "Ya udah, kamu duduk aja! Cuci tangan! Biar aku aja yang buat nasi kebulinya."

"Katanya kamu ingin aku yang buat?"

Winda menggeleng. Dia tak tega dengan Praba yang beberapa kali hampir muntah. "Nggak pa-pa. Aku udah puas sama lumpia kamu." Winda mengusap dahi suaminya yang berkeringat. "Kamu nanti minta nasi kebulinya, nggak?"

Praba menggeleng cepat. "Aku nggak suka daging kambing. Nanti kalau makan malah muntah."

"Kenapa nggak bilang nggak suka daging kambing? Aku nggak akan maksa kamu buat, kok. Ya udah, kamu istirahat sana!" suruh Winda yang langsung mengambil alih pekerjaan Praba.

Praba tersenyum. Ia menyempatkan mencium rambut Winda sebelum menyingkir dari dapur. Praba memilih duduk di ruang tamu. Ia merasa pusing karena bau daging kambing yang benar-benar ia benci dari dulu.

"Kalau bukan gara-gara Winda, nggak akan itu daging kambing saya sentuh," kata Praba pada diri sendiri.

Lelaki itu memilih merebahkan dirinya di sofa dan memejamkan matanya sejenak. Dia butuh sedikit istirahat sepertinya. Sedari tadi dia bekerja dilanjut memasak.

Praba sudah masuk ke dalam alam mimpinya saat Winda menyelesaikan masakannya. Wanita itu menghampiri Praba. Ia membuatkan Praba nasi goreng biasa.

Melihat Praba tertidur, Winda ingin sekali juga tidur. Wanita itu memposisikan kepalanya di dada Praba. Dia ingin tidur di dekapan Praba, tapi dia harus mengerti Praba.

Saat sedang menikmati posisinya, Winda merasa ada yang mengusap kepalanya, Winda mengangkat sedikit kepalanya dan ia mendapati Praba sudah membuka matanya dan tersenyum ke arahnya. Winda mengerjapkan matanya berkali-kali. Praba mendudukkan tubuhnya yang membuat Winda sedikit menjauh.

"Pasti kamu nggak enak duduknya," ujar Praba yang memberikan tempat untuk Winda duduk.

Winda bangkit dari lantai dan duduk di samping Praba. Praba tersenyum, lalu menarik badan Winda untuk merebahkan tubuh dengan menjadikan pahanya sebagai bantalan wanita itu.

"Maaf ya, Mas. Aku pasti ngerepotin kamu banget," ucap Winda tulus.

Praba menggeleng. "Nggak ada yang repot demi anak sama istri."

"Aku tuh selalu nyusahin kamu, Mas. Sejak kita kenal, udah nggak kehitung aku buat kamu susah terus. Di posisi sekarang aja, pasti kamu juga kesusahan, 'kan?" kata Winda yang membuat Praba terkekeh.

"Aku nggak pernah merasa susah karena kamu. Aku malah seneng." Praba menyangkal asumsi Winda yang tidak berdasar itu.

Praba tak pernah merasa disusahkan oleh Winda. Ia senang bisa membantu wanita itu. Ia senang Winda bergantung padanya. Tak ada rasa susah sama sekali dengan Winda. Dia juga tak merasa terpaksa sama sekali.

"Love you, Mas Prabaswara Mahatma," kata Winda secara tiba-tiba yang membuat Praba melebarkan matanya.

Lelaki itu berusaha keras menyembunyikan rona bahagia di wajahnya. Hatinya menghangat. Dia senang mendengar pernyataan cinta Winda.

Windayu 2 : Bertahan Dalam Pilihan [End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora