Bab 23

5.2K 470 25
                                    

Keempat orang itu akhirnya benar-benar berangkat ke salah satu pusat perbelanjaan meski didahului dengen cekcok hampir dalam segala hal. Winda mengikuti Meisya dalam memilih baju dan tak lupa Prabaswara sudah pasti mengikuti ke manapun Winda pergi. Sedangkan Gilang, lelaki itu sudah tidak diketahui keberadaannya.

Meisya sudah memilih bajunya, Winda juga ikut membeli sepasang kebaya dan pakaian batik yang seragam dengan suaminya. Praba, jangan ditanya, dia hanya manut saja dengan semua pilihan Winda yang menyuruhnya mencoba pakaian batik itu berkali-kali.

"Saya paling malas kalau belanja begini. Mending beli online yang penting sesuai ukuran," ucap Praba setelah selesai mencoba pakaiannya.

Winda terkekeh. "Seru belanja langsung, Mas. Bisa coba langsung."

"Gue di sini yang mau belanja ya, bukan jado kambing congek," cibir Meisya yang sepertinya keberadaannya dilupakan.

Sepasang suami istri itu menatap Meisya dengan wajah Meisya yang kesal. Winda terkekeh. "Kenapa nggak ikut Gilang aja, Meis?"

Meisya menekuk wajahnya. "Daripada kalian ribut, mending bayarin baju gue!"

Praba mendengkus. "Sudah kerja 'kan? Bisa bayar sendiri berarti."

Pada akhirnya tetap Praba yang membayar semuanya. Meisya jelas senang, ada gunanya juga kakaknya itu ikut, yang tidak berguna memang si Gilang yang sudah menghilang.

Mereka menuju ke salah satu tempat makan yang ada di pusat perbelanjaan untuk mengisi perut dan menunggu Gilang di sana. Winda dan Meisya kompak menyuruh Praba untuk duduk di bamgku lain karena mereka butuh banyak waktu untuk mengobrol berdua.

Praba menuruti kemauan adik dan istrinya itu. Ia memberi ruang untuk mereka bicara agar bebas. Praba tak mau mereka merasa tak nyaman, dia tahu batasnya.

"Win, gue mau cerita deh," ujar Meisya sebagai pembukaan. "Di kantor tuh sekarang nggak asyik."

Winda mengangguk dengan jumawa. "Pasti karena nggak ada aku 'kan?"

Meisya segera menepuk lengan Winda. "Nggak woy! Itu, sekarang gue ngerasa diganggu."

Winda mengerutkan keningnya. "Siapa?"

Meisya menatap Winda hati-hati. Wanita itu mengembuskan napasnya. "Arkadal. Dia nanyain mulu masalah lo ke gue. Pagi dia dan sore dia pokoknya udah stand by di depan ruangan."

Winda terdiam. Senyumnya luntur seketika. Wajahnya langsung terlihat datar. Dia benar-benar muak mendengar nama itu lagi. Dia sungguh malas. Arka sudah ia hempas jauh dalam hidupnya.

"Lo kasih tahu dia soal anak yang lo kandung itu anak dia?" tanya Meisya yang membuat Winda menatap tajam Meisya.

"Nggak. Nggak ada yang ngasih tahu."

Meisya menghela napasnya. "Dia bilang, dia tahu kalau anak itu anak dia."

Winda memejamkan matanya. Ia merasa pusing seketika. Apa yang akan terjadi nanti? Dia benar-benar tak siap mengakui fakta itu.

"Tolong jangan bilang apapun ke dia, Meis!" pinta Winda dengan wajah penuh permohonan.

Meisya mengangguk. Ini bukan haknya. Dia tidak akan selancang itu bilang ke Arka. Itu bukan urusannya. Meisya tahu itu urusan pribadi yang dia tak akan bisa ikut campur di dalamnya.

"Gue nggak bilang apa-apa, Win. Lo tenang aja." Meisya mencoba menenangkan. "Tapi gue bingung, siapa yang ngasih tahu itu Kadal?"

Winda terpekur. Tidak ada yang tahu masalah ini kecuali mereka dan Praba. Keluarganya tak tahu sama sekali. Mereka tahu anak yang ia kandung anak Praba. Winda merasa resah sekarang. Masalah yang menantinya cukup besar.

Windayu 2 : Bertahan Dalam Pilihan [End]Where stories live. Discover now