EMPAT PULUH

2.9K 109 18
                                    

Pagi ini hujan deras mengguyur sebagian wilayah Kota Jakarta Timur. Termasuk di daerah sekitar rumah Narulita juga terguyur hujan. Narulita akan berangkat bekerja, tapi niatnya itu terkurung gara-gara hujan. Yang tadinya semangat akan berangkat bekerja, tapi setelah mengetahui di luar rumah hujan deras membuatnya tidak semangat untuk bekerja. Rasanya ingin rebahan saja di dalam kamar. Ia malas untuk keluar rumah.

Hal serupa juga dialami oleh Ade. Dia sudah semangat berangkat sekolah, eh ... ternyata hujan, alhasil dia malas lalu tidak jadi berangkat sekolah. Kenapa sih, pagi-pagi harus hujan? Pikir Ade dongkol.

Ade duduk di sofa, dekat kakaknya. "Kak, kok hujan sih?" tanya Ade jengkel.

"Ya emang udah waktunya hujan, gimana sih kamu ini?" jawab Narulita dengan sedikit nada tinggi.

"Tapi Kak, hujannya di waktu yang enggak tepat. Aku mau berangkat sekolah loh," ucap Ade seraya menunjuk jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh lima menit. Kurang lima menit lagi sudah jam setengah tujuh. Aduh! bisa-bisa Ade telat sekolah kalau begini. Hujan di luar belum juga reda, malah semakin deras.

"Tunggu hujannya sampai berhenti, Dek," ucap Narulita santai. Sebenarnya dalam hatinya ia panik.

"Ya Ampun, Kak. Kalau nunggu hujan berhenti. Aku telat sekolah, dong? Lama-lama aku bolos sekolah nih." Ade menjawab dengan jengkel lalu memanyunkan bibirnya seperti cemberut.

"Ya nanti kamu bilang sama guru. Kamu telat sekolah gara-gara hujan. Ngomong gitu apa susahnya sih?" kata Narulita.

"Ampun deh, Kak! Masalahnya guruku itu galak. Aku gak mau dihukum, Kak. Huaaaa." Ade berucap diakhiri dengan logat seperti merengek.

"Tau Ah! Kamu mau bolos juga terserah!" kata Narulita sedikit jengkel.

"Yah, kok bolos sih, Kak." Ade menekuk bibirnya ke bawah.

"Lah terus?" Narulita malah bertanya.

Ade geleng-geleng kepala. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang? Di luar masih hujan, sedangkan dia mau berangkat sekolah. Sekarang saja sudah pukul setengah tujuh lebih lima menit. Tidak ada waktu tiga puluh menit, sebentar lagi Ade terlambat sekolah.

Ade diam. Narulita juga diam. Mereka sama-sama bingung harus bagaimana agar bisa pergi ke luar rumah. Memakai jas hujan? Sayangnya mereka tidak mempunyai jas hujan. Memakai payung? Mereka punya payung, tapi payung tidak bisa sepenuhnya melindungi dari cipratan air hujan.

Narulita yang berangkat kerjanya mengendarai sepeda motor, tentu saja tidak bisa memegang payung bersamaan dengan menyetir sepeda motor. Ade sebenarnya bisa saja menggunakan payung saat berangkat sekolah, tapi ia harus rela berjalan kaki. Apa dia sanggup berjalan kaki menuju ke sekolah? Apalagi sekolahnya jaraknya sangat jauh dari rumahnya.

Mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya Ade angkat bicara, dan terpikirkan sesuatu. "Kak, aku berangkat sekolah naik angkot aja ya?"

Nah, akhirnya Ade terpikirkan untuk berangkat sekolah naik angkot saja. Dengan begitu ia tidak akan kehujanan. Walaupun naik angkot, tapi ia tetap membawa payung, karena nanti ia harus berjalan kaki terlebih dahulu sampai ke jalan raya lalu mencegat angkot lewat. Kalau misalnya Ade tidak membawa payung? Oh, jangan ditanya lagi, seluruh seragamnya basah kuyup, tas dan bukunya pun ikut menjadi korban.

Narulita tersenyum lebar, ucapan adiknya memang benar. "Bener, Dek. Kamu berangkat sekolah naik angkot. Jangan lupa bawa payung. Soalnya nanti kamu harus jalan dulu sampai ke jalan raya, nunggu angkot lewat dulu, kan?"

"Iya, Kak. Aku ambil payung dulu!" Ade berucap lalu berdiri tegak, melangkah dengan semangat menuju ke arah dapur.

Tak lama gadis berusia delapan belas tahun itu kembali lagi ke ruang tamu. Payung besar berwarna merah sudah ada di genggaman tangan kanannya. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lebar.

Sultan Jatuh Cinta [Lengkap]Where stories live. Discover now