Bab 36: Kalung

10 4 0
                                    

Bab 36: Kalung

Fano memakai kalung berbentuk mawar yang sama persis dengan yang dibelikan Ferdian dulu. Ia merasa senang bisa memiliki kalung ini, walaupun ia membelinya sendiri.

Dia memang ceroboh, memberikan kalungnya ke kaum Dwarfs yang menyebalkan dan sekarang ia benar-benar menyesali keputusan itu.

Fano berjalan mengikuti GPS dengan fokus. Di sisi kanan dan kiri terdapat warung nasi timbel dan bandrek-minuman khas sunda. Aroma makanan membuat cacing-cacing di dalam perut Fano berdemo. Ia sangat kelaparan. Tapi uangnya sudah habis membeli kalung.

Ia pun hanya dapat pasrah berjalan mengikuti GPS. Padahal dulu, saat ia menjadi elf. Ia tidak susah payah menggunakan alat pelacak seperti itu. Ia bisa mengandalkan aura mahkluk yang ia tuju. Tapi, sekarang ia seorang manusia biasa dan tidak memiliki sihir.

Semakin jauh Fano berjalan, tidak terlihat lagi para pedagang makanan dan minuman. Hanya beberapa kedai bandrek yang berjualan dengan jarak cukup jauh dari keramaian. Namun, sebuah warung Bandrek Mas Jul Punclut nampak ramai dengan pembeli walaupun jarak dari bawah lebih dari 1 km.

Aroma tungku api dan asapnya yang berhembus ke jalanan, membuat Fano menahan perutnya yang lagi-lagi berbunyi. Ia tetap berjalan hingga GPS itu berhenti tepat di sebuah rumah tradisional Sunda-Julang Ngapak.

Fano melihat halaman rumah yang cukup luas dan beberapa tanaman hias berjajar di terasnya. Fano berjalan menuju rumah itu dengan nafas tersengal-sengal.

Tok. Tok. Tok.

Fano mengetuk pintu tiga kali, berharap ada seseorang yang membukanya. Lalu, seorang wanita membukakan pintu dengan raut wajah bingung.

"Cari siapa yah?" tanyanya sembari mengamati penampilan Fano yang sedikit mencurigakan.

Fano membuka maskernya lalu menjawab, "Ferdian dan Felixnya, ada?"

Wanita itu terkejut, lalu di belakangnya nenek tua keluar dengan bantuan tongkat kayu. Ia melihat Fano dengan raut wajah heran. Pasalnya selama setahun ini, tidak ada yang datang untuk menanyakan kabar anak dan cucunya.

"Boleh saya masuk?" Fano bertanya dengan suara pelan.

Kedua wanita itu pun tersadar lalu mempersilakan Fano untuk masuk ke rumah Julang Ngapak. Mereka nampak kebingungan harus bersikap seperti apa? Pasalnya mereka tidak mengenal pemuda tampan yang berdiri di hadapannya.

"Nama saya Fano, saya sahabat masa kecilnya Ferdian dan teman Felix."

Fano tidak bisa menghilangkan perasaan canggung dalam dirinya. Maka sebab itu, ia berucap dengan jujur. Ia memang mencari Felix dan Ferdian. Namun, sepertinya mereka tidak ada di rumah Julang Ngapak itu.

"Fano?" Nek Pipin-nenek kandung Felix bertanya dengan serius, memastikan pendengarannya tidaklah salah.

Fano menganggukkan kepalanya mantap. Namun, Nek Pipin meragukan ucapan Fano. Karena menurutnya, rahasia kehidupan Ferdian dan Felix yang menghilang hanya diketahui oleh Bi Euis seorang.

"Aku seorang elf dari Ferzenia. Mungkin, Ferdian pernah bercerita tentangku kepada ibunya."

Fano menceritakan apa yang pernah terjadi dimasa lalunya dan bagaimana bisa ia berada di raga seorang penyanyi Korea. Ia pun mengisahkan awal pertemuannya dengan Ferdian dan Felix.

"Maaf, tapi Ferdian dan Felix tidak ada disini," Nek Pipin menjawab.

Nek Pipin dan Bi Euis ragu dengan apa yang diucapkan Fano. Pasalnya, Fano tidak memberikan bukti apapun. Hanya sebuah cerita yang mirip dengan dongeng anak-anak.

Fano bisa merasakan apa yang ada dipikiran Nek Pipin dan Bi Euis. Mereka bingung, mengapa seorang pemuda tampan datang menanyai anak dan cucu yang sudah setahun menghilang. Belum lagi Fano menceritakan hal-hal yang mustahil dan tidak ada di dunia manusia.

"AKU BERSUNGGUH-SUNGGUH," Fano bingung harus membuktikan dengan cara apa?

Tapi, tiba-tiba ia teringat kalung berbentuk mawar yang ia beli. Ia membuka kalung yang dipakai dan menunjukkannya kepada Nek Pipin dan Bi Euis.

"Ini kalung yang sama dengan milik Ferdian. Dia adalah sahabatku, aku ingin bertemu dengannya."

Fano berharap mereka berdua akan percaya. Namun, tidak ada reaksi dan ekspresi sedikit pun dari Nek Pipin. Bi Euis pun meminta Fano untuk keluar dari rumah Julang Ngapak.

"Tunggu," Nek Pipin memangil Fano yang hendak keluar dari pintu.

Fano berbalik badan lalu menatap bola mata, wanita tua itu dengan harapan memberikannya sedikit petunjuk.

"Sebenarnya, Felix dan Ferdian sudah lama menghilang. Tepatnya, satu tahun yang lalu."

Nek Pipin meminta Fano untuk mengikutinya ke sebuah kamar di rumah tradisional itu. Nek Pipin menunjukkan sebuah kamar kosong yang ranjangnya bergeser ke arah kanan.

"Ini kamarnya," Nek Pipin mempersilakan Fano untuk masuk ke kamar.

Fano tahu, kamar ini. Sewaktu ia menjadi elf, dia sering bermain ke kamar Ferdian. Di tempat ini pula, ia menghabiskan waktu untuk tertawa dan bahagia.

"Aku ingat," Fano berjalan masuk dan melihat sekeliling kamar yang masih sama.

Ia ingat kejadian satu tahun yang lalu. Awal pertemuannya dengan Felix. Bagaimana dia bersembunyi di bawah selimut, agar tidak ketahuan Bi Euis. Fano tertawa pelan mengingat kenangan itu.

Fano berjalan menuju ranjang yang sedikit di geser ke kanan. Fano merangkak ke bawah ranjang itu, meraba setiap ubin keramik yang ada di bawahnya.

"Tidak ada sesuatu," Fano bergumam pelan.

Ia memang tidak merasakan apa-apa. Tidak ada pintu ajaib yang menghubungkan dunia manusia dan Ferzenia. Padahal pintu itu selalu ada selama bertahun-tahun lamanya. Tapi, kini ia tidak merasakan sesuatu.

"Hilang?" Fano merasakan sakit di dalam dadanya. Ia takut, tidak bisa kembali ke Ferzenia dan bertemu Felix.

Fano merangkak keluar ranjang, melihat Nek Pipin dan Bi Euis secara bergantian dengan wajah cemberut. Fano menunduk sedih, ia tidak melihat apa pun. Apakah karena Fano berada di raga Teon yang seorang manusia? Hingga ia tidak bisa merasakannya? Fano hanya bisa terdiam dengan lemas.

"Aku pamit pulang," Fano hendak keluar kamar.

Nek Pipin kembali angkat suara, "Makanlah dulu. Tubuhmu yang sekarang, tidak sekuat dahulu."

Ucapan Nek Pipin memang benar, tubuh Teon dan Fano jauh berbeda dari segi kekuatan. Sekarang Fano adalah manusia, yang harus makan sehari tiga kali.

Pada akhirnya Fano makan masakan Bi Euis bersama Nek Pipin. Hidangan yang disajikan begitu enak dan matang. Fano melahap semua makanan dengan rakus. Ia benar-benar kelaparan. Bi Euis dan Nek Pipin hanya bisa tertawa dengan gemas.

Pasalnya Fano mirip seperti anak laki-laki yang melahap makanan setelah pulang bermain. Mereka begitu senang mendapatkan tamu yang ternyata adalah sahabat baik Ferdian dan Felix.

Setelah pukul sepuluh, Fano pamit pulang ke hotel. Sepanjang jalan yang mulai sepi dari para pedagang, Fano memikirkan rencana untuk menemukan Felix. Ia harus mencari wanita yang ia cintai secepat mungkin.

Suasana Pasar Minggu yang mulai bubar membuatnya jadi sorotan beberapa pejalan kaki yang lewat. Karena visualnya terlihat seperti orang Korea.

"Aku harus pergi dari sini," Fano merasa beberapa gadis remaja menatapnya dan berbisik mengenai visual yang mirip dengan Lee Teon.

Sepertinya, berita tentang NEO yang berlibur di Bandung sudah menyebar dengan cepat.

Fano pun berlari sekuat tenaga menjauhi kerumunan.

"Aku harus cepat."


Felix And The FairyOù les histoires vivent. Découvrez maintenant