55. DIA, AURORA DARMAWANGSA

2.9K 350 28
                                    

***

"Tunggu."

Alastair yang hendak memakai helm, berhenti mendengar suara itu. Ia kemudian turun dan menatap seseorang yang memanggilnya.

"Kenapa?" Alastair bertanya.

"Lo disuruh masuk lagi sama Ayah," ucap Iqbal.

"Ngapain? Gue nggak mau berantem sama Om Reval," tolak Alastair langsung.

Iqbal menggeleng. "Enggak, lo masuk dulu, deh, mending."

Merasa percuma kalau berdebat, Alastair akhirnya mengalah. "Oke."

Keduanya kemudian berjalan beriringan, masuk kembali ke rumah Reval. Sesampainya di ruang tamu, Alastair mengernyitkan dahi melihat raut wajah Reval yang tampak sumringah.

"Duduk."

Keduanya kemudian duduk.

"Kenapa, Om?" tanya Alastair langsung.

"Kapan?"

"Hah?" Alastair menatap Reval tak paham. Apanya yang kapan?

"Kapan kamu membawa orang tuamu, untuk melamar putri saya secara resmi?"

"HAH?!!" Alastair cengo untuk beberapa detik. Sebelum kemudian berdiri dengan mengerjapkan mata berulang kali. "Om---serius?!!" pekiknya tak tertahan.

"Memangnya kamu mau saya cuma pura-pura?" Reval menaikkan sebelah alisnya.

Spontan, Alastair langsung menggeleng. "Enggak, lah, Om!" gila saja. Susah-susah ia mencari restu, masa mau dimainin?!

"Terimakasih, Om." Alastair mendekat, berniat bersimpuh di kaki Reval. Tapi sebelum itu, Reval sudah mencegahnya.

"Jangan bersujud di kaki manusia, Alastair. Saya bukan Allah!" tolak Reval dengan cepat.

"Saya---saya nggak tau harus bersikap seperti apa," ucap Alastair dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca.

"Janji pada saya, jangan pernah sakiti putri saya, atau saya sendiri yang akan membawanya jauh darimu." Reval memberikan ancaman yang benar-benar membuat Alastair mati kutu.

"Tidak akan, Om. Saya janji!" Alastair bersumpah tegas.

"Jangan menduakan adik saya, apapun alasannya." Abitzar menyahut tiba-tiba. Sebenarnya ia tidak rela, tapi mau bagaimana lagi? Dari sekian banyak laki-laki, cuma Alastair yang berpotensi mampu membahagiakan adiknya.

"Tidak akan, Bang." Alastair membalas. Jangankan menduakan, berpikir kalau ia bisa cinta pada perempuan lain pun, tidak pernah.

"Jangan pernah main tangan pada adik saya, sebesar apapun kesalahannya." Baron ikut menyahut. Memang, ia akan selalu mendingin tiap tidak bersama Aurora.

"Aurora kalau sedih suka dipeluk, jangan lupa itu." Iqbal mengingatkan. Sesuatu hal yang paling Iqbal ingat dari Aurora adalah, ia butuh pelukan untuk meredakan segala emosi dalam dirinya.

"Dia cengeng, pastikan kalau kamu tidak akan pernah meninggikan suara kamu saat berbicara pada Aurora." Aaron menyahut. Kakak kedua Aurora itu suaranya berubah serak, menahan tangis.

ALASTAIR : Be Mine, Aurora! [END]Where stories live. Discover now