43. Jarak dan Doa

9 1 0
                                    

~Jarak memang dekat. Doa juga dekat. Tapi, hati kita saja yang sulit merekat. Sampai kapan kau menjauhi takdir dengan menjaga jarak dan doa?~

                                    ***
Hujan rintik air mengalir. Menggenangi bumi. Membasahi matahari. Membuat dunia dan seisinya tanpa malu mengalirkan air matanya. Sangat deras. Namun, mengiris hati Imaz. Sesuai gelora jiwanya yang terkikis oleh sebuah harapan. Entah, harapan itu berefleksi menjadi kenyataan atau meratap saja jadi buih penderitaan. Jujur, sangat nelangsa.

Hubungan yang paling diidamkan setiap wanita adalah perhatian seorang suami. Apalah jadinya jika dalam suatu hubungan perhatian itu ia anggap sebagai percobaan? Wanita bukanlah tempat istana kemerdekaan yang tiap empat tahun sekali pergantian tahta. Laiknya bertahta pada hati seorang raja. 

Gemercik hujan dan hembusan angin menelisik kedua tubuh Arman dan Irma.

"Apa kau kedinginan?" Tanya Arman menatap Irma penuh perhatian.

"Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja kok. Bagaimana denga kau Man?"

"Aku juga baik-baik saja kok."

Mereka saling tersenyum. Bulir-bulir perjuangan cinta mereka akan indah pada waktunya. Mereka meyakini itu. Nanti setelah cinta mereka direstui, Robet dan Imaz akan bersatu lagi. Sesuai harapan Romo Kiyai. Juga sebagai perasaan bersalah mereka yang telah memisahkan sepasang kekasih yang memang ditakdirkan bersama.

Dari jendela kamarnya, Ning Fiyyah menatap rinai hujan. Menemani kesepiannya. Sama halnya lelehan air mata yang terus mengalir tiada henti. Ia mendadak rindu ayahnya. Ibunya. Sahabatnya, Imaz. Ia tak ingin kehilangan orang yang disayanginya.

Ningrum dan Yati membawakan secangkir teh hangat dan sepiring biskuit coklat tanpa menghiraukan Ning Fiyyah yang seharian tidak membunyikan alarm.

"Ning, hujan deras seperti ini, enaknya makan biskuit ditemani sama secangkir teh hangat," kata Ningrum, membawa nampan sepiring biskuit coklat.

"Iya neng, kita sama-sama berdoa dan berusaha untuk mencari keberadaan Imaz," sambung Yati, membawa nampan secangkir teh.

Ning Fiyyah menoleh ke belakang, "sungguh?" Mereka mengangguk seketika itu.

"Kalau begitu, kita ke desa yang pernah Imaz tinggali waktu itu," pinta Ning Fiyyah tak main-main.

"Kapan?" Ningrum bertanya heran.

"Besok. Aku maunya besok! Aku yakin Imaz ada disana," katanya begitu yakin.

"Iya Ning. Besok saudara-saudaramu dan kami akan kesana." Ningrum akhirnya menuruti.

"Makan dan minumlah ini kalau begitu." Yati membujuk. Ini bukan kali pertamanya Ning Fiyyah bersikap kekanak-kanakan. Sebegitu pentingnya Imaz kepadanya. Padahal, pertemuan mereka juga tanpa disengaja. Imaz sudah mendapatkan sahabat sebaik Ning Fiyyah tapi mendapat suami sejahat Robet.

Mereka meminta Ning Fiyyah duduk di ranjang dan menemaninya agar tidak merasa kesepian. Ia mulai mencomoti biskuit coklatnya.

Sejak kejadian Arman yang nekad tidak pulang, ibunya mengalami struk. Ayahnya yang susah payah merawatnya. Hanya karena membela kekasihnya itu, sampai semua yang dia punya tak ada artinya apa-apa. Dan sekarang, mulut ibunya yang dulu sering menciumi kegemoyan Arman sewaktu masih usia lima tahun, kini tak berbentuk. Kedua tangan yang tiap hari menggendong si kecil Arman, merawat, menyusui, bagai patung yang cuma bisa ia lihat sendiri. Begitu juga dengan kedua kakinya.

Ayah sangat mencintai ibu. Tiap melihat wajah tuanya yang masih cantik, ia mengelus dahinya sesekali ia kecup dengan penuh cinta. Arman memang anak satu-satunya mereka. Selama mereka merawatnya, tidak pernah mengekangnya. Asalkan itu yang terbaik untuknya. Lalu, tersesat cinta sama anak kiyai pesantren terbesar. Pesantren Ta'lim Muta'alim. Yang memiliki 12 anak. Enam lelaki. Enam perempuan. Dan Irma anak terakhir beliau. Yang bikin kaget, Arman begitu berani sowan ke ndalem abahnya Irma untuk bermaksud meminang Irma.

Misi Bertemu Cinta [REVISI PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now