BAGIAN 18. [EMOSI]

3.1K 377 12
                                    

°°°

Kedua langkah kakinya berjalan menuju ke tempat yang bisa terbilang itu adalah rumahnya, tempatnya berteduh dari cuaca yang berada diluar sana.

Tepat kini jam telah menunjukkan hampir pukul enam, dan pasti sebentar lagi sang Surya akan segera menenggelamkan sinarnya. Burung-burung pun sudah pasti akan kembali ke tempatnya semula.

Nana berjalan dengan pelan, ia berniat untuk pulang terlebih dahulu untuk membersihkan dirinya. Kunci warung makan sudah ia simpan, dan juga pemuda itu tidak sengaja melihat ada sebuah ponsel yang mungkin itu adalah milik mamanya, tertinggal di tempat tersebut karena saking khawatir nya.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, jarak rumah dengan warung makan tidaklah begitu jauh. Mungkin hanya memerlukan sekitar 10 menit hingga sampai di tempat ini.

Entah mengapa rasanya ada yang mengganjal dihatinya. Bagaimana keadaan kakaknya disana? Nana juga ingin tahu perkembangan kondisi Jeffin dan apakah kakaknya sudah sadar atau belum.

Keadaan rumah begitu sepi, rumah yang sederhana ini bahkan setiap pagi sampai siang selalu dalam keadaan sepi. Dimana kedua orang tuanya yang bekerja sedangkan dirinya ke sekolah dan Jeffin yang akan pergi ke kampusnya.

Rasa bersalah itu mengganjal dihatinya. Ia merasa sepenuhnya kejadian tadi memang salahnya. Jika dirinya tidak membiarkan sang kakak dan lebih memilih untuk menahan dahaganya, pasti saat ini dirinya dan Jeffin sudah berada dirumah, menikmati acara tv untuk mengisi waktu luang.

Pemuda itu mencuci tangan terlebih dahulu dengan air yang berada di kran depan rumah. Bukan hanya tangan, melainkan juga kakinya agar ia tidak membawa debu masuk kedalam rumah.

Setelah sepenuhnya selesai, barulah pemuda itu berjalan dengan Hela napas beratnya setelah membuka pintu yang terbuat dari kayu jati tersebut. Tidak ada suara satupun yang ia dengar, semuanya begitu hening. Entah bagaimana jadinya jika malam ini dirinya berada didalam rumah ini sendirian tanpa seorang teman.

Ponsel mama ia taruh di atas meja yang terdapat di ruang keluarga. Tidak perlu takut jika nantinya akan Dimaling, karena disini sama sekali tidak ada orang lain kecuali dirinya sendiri.

Nana juga menaruh sebuah kunci dan ponselnya terlebih dahulu. Perutnya berbunyi tanda ingin segera diisi. Helaan napas berat berasal dari mulut pemuda itu, ia kemudian segera duduk di kursi soda dan meraup wajahnya kasar. Kepalanya begitu pusing karena terlalu lama beraktivitas diluar sana.

Pemuda itu melepas kasar Hoodie yang masih berada ditubuhnya. Ia meletakan benda tersebut secara kasar di sebelah sofanya dan kembali menyenderkan punggungnya disana. Tadi kedua matanya sempat berkunang-kunang, untung saja hal itu tidak berlangsung lama.

Dengan keberanian yang entah berasal dari mana, tangannya bergerak untuk mengambil sebuah benda pipih yang berada di atas meja. Lelaki itu berniat untuk menghubungi mamanya yang masih berada dirumah sakit. Ia ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya disana, semoga saja tidak terjadi hal-hal buruk lainnya.

Nana mencari nama mamanya dan segera menekan tombol panggilan yang terpampang disana. Pemuda itu menunggu mama mengangkat teleponnya yang sudah terlihat berdering dari sini. Ia tahu pasti mama sangat marah padanya karena tidak menjaga putra sulung mereka dengan baik. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa, untuk membantu kedua orang tuanya menangani biaya rumah sakit Jeffin pun ia tidak memiliki uang lebih.

Forgotten Nana [END]✓Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin