BAGIAN 45. [HANCUR]

3.9K 464 56
                                    


°°°

Pada akhirnya Nana memilih untuk pulang dahulu kerumahnya disaat jam masih menunjukkan pukul setengah dua siang.

Pemuda itu pulang dengan diantar oleh Jendral menggunakan motor sahabatnya. Entahlah, Nana merasa jika memang dirinya itu hanyalah beban bagi orang-orang terdekatnya. Ia bahkan memilih untuk pulang agar di lingkungan sekolah Jendral tidak perlu membantu nya yang bahkan hanya bisa berdiam diri didalam UKS tanpa melakukan kegiatan apapun.

Jujur saja, dadanya masih terasa panas. Ia sudah tak tahu mau dibagaimanakan agar rasa panas itu cepat turun. Nana bingung, dan pada akhirnya ia memilih untuk segera pulang karena sudah tak ingin membuat temannya kesusahan hanya karena dirinya yang lemah.

Pemuda itu sama sekali sudah tak berniat untuk memasukkan sesuatu lagi didalam perutnya. Semuanya terasa salah. Lebih baik ia kesakitan karena kelaparan karena disaat seperti itu, rasa sakitnya tidak sesakit ketika ia memuntahkan semua makanannya.

Nana melepas Hoodie yang semula ia gunakan. Pemuda itu menatap ke arah pergelangan Hoodie nya yang masih terlihat bercakan darah akibat luka goresan yang masih basah.

Hingga pagi ini, luka itu terlihat lebih parah sehingga membuat pergelangan tangan kirinya membengkak. Jujur saja, melihat hal itu membuat Nana bergidik ngeri. Entah bagaimana bisa semalam pemuda itu sama sekali tak merasakan kesakitan ketika tengah menggores lengannya.

Mungkin jika orang rumah tahu, ia pasti sudah dibilang lebay karena melakukan hal tersebut. Tapi jujur saja, melakukan self harm seperti itu mampu membuat beban pikirannya sedikit turun. Seperti seolah-olah itu adalah obat yang benar-benar ia butuhkan semalam.

Nana mengambil kotak p3k yang terdapat di atas lemari milik kakaknya. Perlahan ia membuka dan menuangkan obat Betadine yang terdapat didalam sana. Dengan bantuan sedikit kapas, pemuda itu lalu mengoleskannya dengan pelan ke arah luka akibat goresan benda besi disana.

Sakit? Tentu saja. Setiap kali obat itu mengenai bagian luka disana, pasti rasa nyeri terasa dan belum lagi dengan bengkakan yang terdapat disana. Sungguh jika didefinisikan, hal itu seperti orang yang tengah haus akan darahnya dan berakhir menggores lengannya tanpa memikirkan hal yang terjadi nanti kedepannya.

Sedikit demi sedikit ia dapat mengoleskan Luka tersebut. Namun tentu saja hal itu tidak sepenuhnya dapat menutup luka yang terdapat disana. Ada salah satu goresan yang lebar dan masih mengeluarkan darahnya. Goresan itu bahkan terlihat telah membelah daging dalamnya.

Karena sudah merasa cukup dengan pengobatan tersebut, Nana lantas segera meletakkan kembali obat tersebut kedalam lemari sang kakak.

Kedua matanya tak sengaja melihat bercak darah semalam yang masih terdapat jelas di atas lantai yang berada dekat dengan meja belajarnya.

Ia menghela napas pelan ketika mengingat sebagaimana hancur dirinya semalam. Nana benar-benar sangat amat marah dengan dirinya sendiri. Ia kesal mengapa dilahirkan hanya untuk membuat orang terdekatnya selalu terbebani.

Dilihatnya kembali sebuah luka yang masih basah di lengannya. Bengkak membiru itu terlihat jelas disana. Untung saja ketika ia sekolah selalu mengenakan Hoodie panjang yang dapat menutupi luka tersebut. Jika tidak, mungkin Jendral akan bertanya mengapa bisa menjadi seperti itu.

Pintu kamarnya yang semula tidak ia tutup itu dapat membuat orang yang kini berada diluar ruangan mampu melihat anak tersebut.

Nana tidak menyadari jika disana terdapat sang ibu yang datang untuk meminta penjelasan dari putra bungsunya. Ia ingin sebuah alasan yang kuat jika memang semua ini bukan Nana yang melakukannya.

Forgotten Nana [END]✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz