BAGIAN 24. [TAK SADAR]

3.3K 434 14
                                    

°°°

Nana berlari dibawah derasnya air hujan yang turun dari langit. Bukan apa, ia hanya tidak ingin jika nantinya akan terjatuh sakit kalau terus terusan berada diluar tempat seperti ini.

Pemuda itu tidak sempat meminjam payung untuknya pulang, jadi terpaksalah ia sampai rumah dalam keadaan yang sangat basah kuyup. Belum lagi pakaian yang ia gunakan ini adalah milik temannya itu.

Memang jaraknya tidak begitu dekat. Namun untungnya karena telah bersabar dan berlari, lelaki itu sudah sampai dirumah yang selalu ia gunakan untuk melindungi diri dari cuaca diluaran sana.

Napasnya tersengal karena telah berlari dari jarak yang begitu jauh. Sekarang Nana sudah berada di teras rumah sambil mencoba untuk menormalkan pernapasan nya yang tersengal.

Dadanya begitu terasa sakit, membuat dirinya sedikit kesulitan untuk meraup udara oksigen disekitarnya. Pemuda itu kemudian melanjutkan langkahnya pergi kedalam dan segera menuju kearah kamar. Ia harus meminum obatnya agar tidak semakin parah.

Semenjak dulu sering sulit bernapas karena sering berkontak langsung dengan sinar matahari, Nana diharuskan untuk mengonsumsi obat agar dapat meredakan sesak napasnya ketika hal ini terjadi.

Menyiksa sekali hidup dalam keadaan yang begitu sakit dan tentu saja dalam kondisi yang sudah lemah. Bagi Nana semuanya begitu amat menyakitkan.

Bajunya yang basah mengharuskan dirinya pergi dahulu kekamar mandi dan mengganti semua pakaian yang sudah dipinjamkan oleh Hamdan padanya. Tak lupa juga ia taruh pakaian kotornya ke dalam mesin cuci agar dapat dibersihkan.

Setelah selesai dengan semua kegiatannya, pemuda itu langsung pergi kedapur berniat untuk mengisi kembali perutnya yang keroncongan. Ternyata belum ada sama sekali orang rumah yang sudah pulang hingga kini jam telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Dingin banget. " Gumamnya saat kembali merasakan hawa dingin yang kian menyeruak ke badannya.

Dibukanya sebuah lemari yang sudah menjadi tempat penyimpanan mi instan andalannya. Pemuda itu kemudian menghela napas panjang ketika melihat jumlah mi yang terdapat dalam lemari tersebut hanya tersisa sedikit.

Dirumahnya sama sekali tidak ada makanan lain. Bahkan saja tempe dan tahu juga jarang ditemui di rumahnya, hal itu karena kebanyakan orang rumah pergi makan ketempat luar. Ayah yang dikantornya, mama yang diwarungnya, dan Jeffin yang juga sering dibuatkan makanan oleh mama. Terkadang pemuda itu juga membelinya saat berada dikampus.

Sebenarnya beras ada dirumah, hanya saja Nana tidak tahu dimana tempat mama menyimpan benda itu.

Kini pemuda itu membuka sebuah lemari dan mengambil salah satu mi rebus untuknya makan malam ini. Entah mengapa rasanya semakin hari semakin berbeda. Tidak ada suara sang kakak dan perhatian dari mama, membuat kesehariannya terasa hampa.

Tenggorokan pemuda itu terasa sakit. Mungkin hanya sakit biasa, pikirnya.

Ia lantas segera merebus mi yang sudah di siapkan. Tak apa setiap hari dirinya memakan makanan seperti ini, makanan yang sama yang mungkin dapat mengganggu sistem pencernaan nya. Yang terpenting bagi Nana adalah dirinya dapat mengisi perut, walaupun hanya dengan benda sedikit tersebut.

Tentang rasa sakit baginya itu adalah masalah belakangan, yang terpenting dirinya dapat makan walau dengan perut yang terasa amat keram. Mau bagaimana pun dirinya harus berpikir positif, mungkin hanya masuk angin biasa ataupun diare, pikirnya.

Forgotten Nana [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang