BAGIAN 23. [RUMAH HAMDAN]

2.9K 364 8
                                    

°°°

Pandangannya menatap sebuah bangunan besar yang baru saja ia masuki. Tidak ada yang bisa ia lakukan, hanya menghela napas pelan sambil menatap sendu kearah rumah sakit tersebut.

Padahal jarak rumah dengan tempat ini tidaklah dekat. Semuanya membutuhkan waktu, dan waktu itu sudah sia-sia. Dirinya berjalan seorang diri dibawah langit kota malam, dengan perut yang tentu saja masih terasa sakit. Namun semua itu sama sekali tidak membuahkan hasil sama sekali.

Tidak apa, selagi mama sudah memberitahu jika kondisi Jeffin sudah baik-baik saja, maka dirinya tidak perlu khawatir akan hal itu.

Pemuda itu berbalik berniat untuk kembali kerumah. Langit malam yang gelap, sudah menunjukkan jika sebentar lagi hujan akan turun disertai angin-angin kencang yang berhembusan diatas sana, menggoyangkan beberapa pepohonan yang berada dipinggir jalanan.

Untungnya kali ini dirinya menggunakan pakaian yang tebal, memudahkannya untuk berjalan pergi kerumah tanpa merasa kedinginan.

Perlahan langkahnya berjalan pergi dari tempat ini. Ia menatap kearah bawah dimana terdapat beberapa krikil jalanan yang sering ia tendang ketika tengah berjalan.

Saat ini jarak dengannya dan keluarga begitu renggang, membuat pemuda itu terus berpikir bagaimana nanti jika hal ini tidak segera berakhir.

Semakin lama ia berjalan diatas trotoar, semakin hebat juga angin disekitar sini menerbangkan dedaunan yang sudah gugur ditanah. Bukan hanya itu, kini gerimis malam sudah sedikit terasa ditubuhnya.

Nana menghela napas pelan. Ia kembali melanjutkan perjalanan tanpa mempedulikan akan rintangan yang ia hadapi saat ini.

"Pulang! Belajar yang pinter biar tau mana yang baik dan yang buruk. "

Kalimat itu yang kini tengah berputar di otaknya. Memang benar kata mama jika dirinya saat ini jauh dengan hal baik. Semua kesalahan dan kerenggangan hubungan dengan kedua orang tuanya, sepenuhnya itu adalah salahnya. Bahkan saja Nana tidak segan-segan merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh.

Angin malam semakin terasa kencang, bahkan saja hal itu mampu membuat kupluk Hoodie yang semula berada di kepala kini berpindah tempat ke punggungnya. Anak-anak rambutnya berterbangan karena angin kini terasa sangat kencang.

Nana terus melanjutkan langkahnya, ia tidak peduli dengan hujan yang semakin terasa membasahi pakaian dan kulit kepalanya. Mungkin untuk beberapa hari kedepan dirinya akan terus berada dalam kesendirian dan kesepian. Tak apa, ia paham dengan keadaan.

Sedari semalam memang tubuhnya sudah tidak baik-baik saja. Bahkan tadi pagi saat dirinya masih berada disekolah, ia dinyatakan tengah demam. Jendral menyuruh anak itu untuk berada didalam UKS saja demi kesehatan tubuhnya. Namun karena memang dirinya yang keras kepala dan sangat sulit untuk dinasehati, mau tidak mau pun jendral hanya bisa pasrah ketika memberitahu temannya itu.


Semakin lama, hujan yang turun semakin deras disertai dengan angin-angin yang seakan ingin merobohkan pepohonan yang berada disekitar sini. Terlihat mengerikan bagi semua orang, namun tidak bagi pemuda itu.

Jarak rumah dengan tempatnya berdiri saat ini masih jauh, memerlukan waktu lama untuk sampai ditempat tersebut.

Seharusnya saat ini ia harus berteduh di tempat yang aman. Namun Nana sama sekali tidak mempedulikan semuanya. Ia ingin segera sampai dirumah dan belajar disana, mengingat otaknya yang akhir-akhir ini sulit untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru.

Forgotten Nana [END]✓Where stories live. Discover now