Tamu Tak Diundang

1.2K 122 3
                                    

"Tuan Putri .... sampai kapan Tuan Putri terus begini?. Itu hanya mimpi Tuan Putri. Jangan terlalu dipikirkan. Apa kata orang jika tau Tuan Putri terus menangisi sebuah mimpi?." Didalam goa, ditengah Hutan Rimba. Tribuana lebih sering termenung dan kadang kadang menangis sendirian.
Padahal dulu Ranggawuni sempat mengira Putri Majapahit yang kecil dan bandel itu tidak punya air mata, karena susah nangisnya.
Ranggawuni selaku guru dan pengasuh sampai kebingungan menghadapi perubahan sikap Gusti Putrinya itu.

Iya, perubahan itu terjadi sebulan yang lalu, ketika Tribuana bangun dari semedi untuk memperdalam ilmu batin-nya.
Bukannya ilmu batin bertambah malah batin Tribuana seperti terguncang.
Tribuana seperti kesambet Demit penghuni hutan. Ranggawuni juga bisa menyadari kekuatan Tribuana seperti berkurang. Memang masih sakti, tapi tidak sesakti yang dulu.
Tribuana memang masih terus berlatih, tapi terlihat jelas, tidak ada ruh dalam setiap gerakan bertarungnya. Kaku dan tidak selembut gaya bertarung dengan paduan silat dan tarian seperti yang dia kuasai.

"Maafkan aku Guru, mungkin butuh waktu untuk pulih, saya benar benar tidak tau harus berbuat apa, tapi saya yakin yang saya alami bukan mimpi." Dan lagi, mengingat Cakra yang tubuhnya basah bercampur darah dalam pelukannya membuat air mata yang bening itu merebak.
Penyesalan Tribuana karena tidak bisa menyelamatkan Cakra dan kesedihan hatinya karena harus berpisah dengan Cakra benar benar membuat jiwa Tribuana seperti bukan dirinya lagi.

Tribuana tetap percaya,  pertemuannya dengan Cakra di dunia masa depan itu nyata adanya. Karena Tribuana juga merasakan setengah kekuatannya hilang karena dia berikan secara paksa kepada Ana. Demi menyelamatkan Ana dari gagal jantung.

Terkadang untuk melupakan kesedihan hatinya, Tribuana akan mengayunkan pedangnya ke segala arah. Akibatnya banyak pohon pohon yang tidak tau apa-apa bertumbangan dibabat pedang Tribuana.
Demi keselamatan jiwanya Ranggawuni untuk sementara tidak mengijinkan Cemeti Cakar Rajawali dipegang Tribuana. Senjata itu sangat berbahaya karena sifatnya yang lentur malah bisa melukai pemegangnya sendiri.

***

Tribuana sedang memutar mutar pedangnya. Dia sedang kesal!. Pandangan matanya tertuju pada dua ekor Kijang yang sedang merumput di sore hari. Sepertinya kedua Kijang itu sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Dan itu seperti mengejek kegundahan hatinya.

Ranggawuni memperhatikan dari mulut Goa.

Hemmm... sepertinya bakal makan besar.

Dia sudah membayangkan potongan Paha Kijang yang terlihat gemuk dan penuh daging itu.

Dipanggang dengan sedikit garam pasti gurih. Batinnya.

Tribuana mengangkat Pedang. Bersiap melempar kearah Kijang betina yang terlihat gemuk.
Tapi tiba tiba dia menurunkan Pedangnya.
Melihat Kijang jantan mengendus endus bibir Kijang betina dengan penuh sayang, melelehkan hati Tribuana. Istilah bahasa Ana, adik Cakra, so sweet banget. Romantis sekali.

Tribuana tidak tega memisahkan kedua Kijang yang lagi berpacaran tersebut.
Entah kenapa wajah Tribuana memerah seperti malu sendiri melihat kemesraan sepasang Kijang tersebut.
Dan... dia.... dia teringat yang dia lakukan dengan Cakra waktu di dapur hingga tanpa sadar ketahuan Ana. Malunya sampai ke ubun-ubun. Apalagi Ana mengungkitnya waktu dimeja makan. Mengadukannya pada Mama.

Bersamaan dengan turunnya pedang, Tribuana mendengar ringkikan dan derap Kuda yang menembus Semak belukar. Jelas suara kuda tersebut tidak hanya satu. Dan jelas kuda kuda tersebut tidak melewati jalanan hutan, tapi menerobos rimbunnya rumput liar dan perdu. Pandangan Tribuana tertuju kepada arah datangnya kuda. Sementara  Ranggawuni menghampiri Tribuana bersiap dengan segala kemungkinan.
Jika yang datang adalah Gajahmada mungkin tidak perlu dihawatirkan, tapi jelas yang datang bukan hanya satu orang namun beberapa orang, sedangkan Gajahmada selalu datang sendiri demi menjaga kerahasiaannya tepat ini.

"Sepertinya kita kedatangan tamu Tuan Putri"

Tanpa menoleh gurunya, Tribuana mengangguk. Tanpa sadar dia memegang gagang pedangnya lebih erat, bukan takut atau khawatir namun Tribuana terlihat lebih bersemangat. Tribuana berharap para tamu tak diundang itu adalah para perampok dan bandit yang suka bikin resah warga sekitar hutan.
Tribuana memang butuh pelampiasan atas keresahan hatinya. Dan dia tidak keberatan untuk memghabisi para penjahat yang suka bikin onar.

Derap kuda semakin dekat dan dari jarak lima puluh meter Tribuana bisa melihat para tamunya. Sedikit memicingkan mata karena melawan sinar matahari sore yang menerobos dedaunan hutan. Hingga akhirnya ke-empat penunggang kuda itu berhenti sepuluh meter dari posisi Tribuana dan  Ranggawuni berdiri.
Turun dari kudanya berjalan lambat menuju Tribuana dan Ranggawuni yang menatap mereka tak percaya.

Ke-empat tamu itu mbungkuk memberi hormat.

"Hamba menghadap Tuan Putri, bibi Ranggawuni" kata sang tamu.

"Paman Ranggalawe?!" Kata Tribuana masih belum pulih dari terkejutnya.

"Hamba menghadap Tuan Putri" ulang Senopati Ranggalawe.

__________________
Vote komen dan share kakaaak.. biar Samangat update

Dyah Tribuana Tunggadewi Where stories live. Discover now