Demit Asmara

1.6K 147 7
                                    

Putri berjalan setengah mengendap. Tangannya menggenggam erat tangan Cakra.
Meskipun kedatangan mereka tidak menimbulkan suara berisik, namun Putri yakin bibik ranggawuni bisa merasakan kehadiran mereka.

"Saya kira guru akan mencariku?" Tribuana melangkah, mendekati api unggun yang dibuat gurunya.  Sedangkan tangannya tetap menggenggam erat Cakra. Tentu saja Tribuana harus berjaga jaga jika gurunya kalap dan langsung menyerang Cakradara. Untuk alasan itu dia tetap menautkan jari jemari di jari Cakra. Walaupun kalau mau jujur sebenarnya Putri memang ingin jalan bergandengan sih.
Tapi diluar dugaan, ternyata Ranggawuni malah asik memanggang ikan gabus besar besar. Padahal Tribuana berfikir gurunya dan paman Ranggalawe akan cemas mencarinya. Mata Cakra tertuju pada Kudanya yang tampak tidur malas malasan. Sedikit mendongak waktu melihat Cakra, kemudian melengos acuh tak acuh.

Mungkin kuda itu jengkel karena ditinggal tadi sore.

Ranggawuni bangkit berdiri. "Tuan Putri" sambut Ranggawuni. Sapaanya datar. Tidak ada penekan dalam suaranya. Tidak gembira tidak marah tapi juga tidak heran ataupun curiga. Datar saja.  Ini cukup mengherankan.
Cakra menarik tangannya dari genggaman Putri. Memberi salam hormat untuk guru Putri itu.
"Saya, Cakradara, memberi hormat untuk panglima Agung Ranggawuni"
Ranggawuni sudah pensiun, tapi pangkat keprajuritan dalam kerajaan Majapahit tidak bisa dihilangkan. Bahkan meskipun orang tersebut jadi peberontak sekalipun.
Cakradara bisa menebak jika Ranggawuni sudah tau asal usulnya. Mengingat kudanya yang tertinggal sudah cukup jadi barang bukti bahwa orang yang menyerangnya dan membawa kabur Putri adalah dirinya.
Pamannya Ranggalawe mungkin menceritakan tentang dirinya. Jadi Cakra memaklumi sikap pasif Panglima.

Ranggawuni mengangguk, menatap penuh selidik Cakra. Cakra menurunkan tangannya. Tangan Putri bergerak gerak gelisah, begitu menemukan jari jari Cakra langsung menautkan mesra.

Melihat sikap Tribuana  Ranggawuni mendesah. Menghela nafas.

Sepertinya ada satu lagi demit yang nempel ditubuh Tuan Putri,  yang ini sepertinya jenis Demit Asmara.

Gumam Ranggawuni dalam hati.

"Apakah Tuan Putri yakin, ingin saya cari?" jawab sang Guru.

Tribuana menyembunyikan senyum malu. Dalam hati mengakui perkataan gurunya itu benar. Dia memang tidak ingin dicari, setidaknya setelah dia tau penculiknya adalah Cakra. Bagaimana Putri mau dicari? ketika Cakra sudah terlanjur menculiknya dan menculik hatinya juga?.

Tapi tetap saja....

"Saya tau Tuan Putri akan baik baik saja. Ranggalawe sudah menceritakan semuanya, jadi yang saya lakukan adalah menunggu Tuan Putri kembali. Masalahnya Tuan Putri?! kenapa Tuan Putri baru balik selarut ini?!. Apa yang dilakukan bocah tengik ini kepada Tuan Putri?!"
Kini suara Ranggawuni jelas terlihat kesal. Seandainya Tribuana tidak bersikap melindungi, jelas  Ranggawuni tidak ragu menghajar Cakradara. Terjawab sudah kenapa dari tadi sikap Ranggawuni kenapa dingin. Dia lega sekaligus kesal, dia senang tapi juga marah. Baginya Tribuana adalah tanggung jawabnya. Sedikit saja terjadi apa-apa atau diapa apain Cakra, itu adalah kesalahan dan keteledoran Ranggawuni.

Padahal emang sudah diapa apain Cakra, walaupun cuman dikit.

"Maafkan saya guru, kami hanya sedikit ngobrol karena lama tidak bertemu. Kenalkan ini Cakradara. Dan dia.... mmm.... dia kekasihku." ucap Tribuana malu malu. Ga mungkinlah dia ngaku selain ngobrol juga cipokan beberapa kali.

"Duduklah Tuan Putri, Ikan Gabus ini sudah matang, pasti Tuan Putri lapar?."

Tribuana duduk, tangannya menarik Cakra supaya ikut duduk disampingnya. Ranggawuni mengambil tempat duduk agak menjauh, mengambil seekor Ikan Gabus yang belum dipanggang.

Tribuana menimang-nimang Ikan Gabus yang sudah matang pemberian gurunya, menyodorkan ke Cakra.

"Cakra makanlah, kamu pasti lapar?".

Tadi mereka asik pacaran hingga lupa lapar, namun setelah melihat Gabus panggang lapar itu segera datang.
Cakra tidak menerima gabus tersebut, tapi hanya menyobek daging ikan yang sudah empuk itu. Dalam hati menyesal kenapa dia tidak jadi mengambil Buah Pisang tadi sore. Rasa Ikan Gabus ini benar-benar tawar.

Pantesan dinamakan Ikan Gabus, emang rasanya tawar seperti Gabus.

"Bibi panglima?  kalau boleh tau? apa Paman Senopati dan teman teman saya sudah balik di Istana?"  Cakra membuka percakapan.

"Senopati Ranggalawe sudah balik tadi sore" jawab Ranggawuni.

Dari nadanya sepertinya dia sudah tidak terlalu kesal.
Tribuana menoleh, menatap Cakra tidak enak hati.

"Aku hampir saja melakukan tindakan bodoh membunuh Pamanmu?"

Ranggawuni menghela nafas berat.

"Tuan Putri terlalu lunak terhadap Senopati"

Cakra dan Tribuana menatap berbarengan. Jelas menebas batang leher itu bukan suatu hal yang lunak.

"Mati jelas diinginkan oleh Senopati Ranggalawe, dia pahlawan sejati. Selembar nyawa tidak berarti baginya, Senopati membawahi 20.000 prajurit. Hamba tidak tahu para Raden yang mengawalnya dari kesatuan mana, namun jika 20.000 prajurit bawahan Senopati Ranggalawe tahu jika pimpinan mereka terbunuh bisa terjadi banjir darah di istana. Meskipun kekuatan mereka hanya sepertiga dari total Prajurit Istana. Belum lagi Kadipaten kadipaten tempat tiga Raden pengawal Senopati Ranggalawe, sudah pasti berpihak kepada Ranggalawe jika terjadi pemberontakan.
Dan jangan lupa, Adipati Rangga Wisesa, orang tua bocah tengik itu pasti juga akan berpihak kepada Ranggalawe. Tindakan gegabah Tuan Putri sangat berbahaya. Pada akhirnya bocah tengik ini tau harus berpihak pada siapa?".

Panjang lebar Ranggawuni menerangkan segala resiko tindakan Putri yang ceroboh dan  fatal, namun yang mengganggu Tribuana adalah berpihak pada siapa akhirnya bocah tengik itu?"

"Jangan panggil Cakra bocah tengik Guru!" kata Putri jengkel.

Tanpa sadar dia merapatkan duduknya pada Cakra, padahal dari tadi udah nempel.
Ranggawuni begitu geregetan dengan muridnya itu.

Ilmu pelet apa yang dimiliki bocah tengik ini hingga Tuan Putri sampai jadi seperti gadis murahan begitu?

Seolah menjawab rasa penasaran gurunya Tribuana berkata.

"Cakra adalah orang yang ada dalam mimpiku"

"Oh.." datar saja jawaban ranggawuni. Padahal asli dia bingung, sebenarnya yang dialami Gusti Putri kemarin mimpi apa kenyataan. Jika Hanya mimpi mana mungkin Gusti putri sebegitu patah hati. Mungkin saat itu Gusti Putri benar benar kehilangan akal sehat, namun malu mengakui. Maklum lagi sayang sayangnya ditinggal pergi Cakra.

"Untunglah aku tidak jadi membunuh Paman Senopati" kata Tribuana datar.

"Kamu tidak akan membunuhnya" kata Cakra meyakinkan.
Putri menatap Cakra dengan tatapan sayang, kemudian tanpa malu malu menyenderkan kepalanya dipundak Cakra, yang membuat Ranggawuni ingin mengubur diri sendiri.

Sial...! Tuan Putri yang kasmaran tapi kenapa aku yang malu?.

"Bocah tengik eh... Cakra, apa kamu murid Begawan Agung Seda?" tanya Ranggawuni. "Kekuatan Tapak Geni kamu luar biasa" gumam Ranggawuni tanpa bermaksud memuji.

"Padahal dulu kamu lemah banget" Tribuana ikut menimpali.

"Aku berlatih keras Putri.... karena kuwajibanku di Majapahit ini begitu besar"

Tribuana mengangkat wajahnya, menatap Cakra dengan tatapan tanda tanya.

"Kewajiban apa itu?" akhirnya Putri menanyakan secara langsung setelah Cakra diam tidak menjawab ketika dia bertanya dengan isyarat tatapan mata.
"Kewajibanku adalah.... melindungimu, mastikan kamu aman, membahagiakan kamu dan menikahimu" jawab Cakra panjang lebar.

Dan hati Tribuana pun Ambyar.

Seandainya ada jurang dibelakangnya, Ranggawuni memilih meloncat kedalam jurang daripada melihat dua orang sinting ini yang lagi kasmaran.

___________
Vote share komen mas mbak .. biar semangat updatenya 😁.

Dyah Tribuana Tunggadewi Where stories live. Discover now