Hukumam Mati

1.2K 114 8
                                    

Cakra memperlambat kudanya. Memutuskan beristirahat. Hari sebentar lagi gela. Mungkin dia harus bermalam di Hutan.
Cakramenambatkan kudanya yang asik menikmati pucuk daun daun tumbuhan dan rerumputan yang segar. Memberi kesempatan pada kuda kesayangannya untuk beristirahat dan merumput.

***

Setelah sebulan berada di Kadipaten, Cakra memutuskan kembali ke Istana Trowulan. Cakra bersyukur penyakit Pilek yang menyebar sudah bisa di atasi. Ibundanya juga sehat seperti sedia kala.

Melihat kudanya asik melahap pucuk pucuk daun hijau, iler Cakra ngeces. Bukan kepingin pucuk daun juga, tapi dia emang lapar. Cakra berfikir, mungkin ada buah Hutan yang bisa dimakan untuk mengisi perut.
Mata Cakra celingak-celinguk menatap pepohonan, berharap ada buah segar matang yang tergantung diantara pepohonan. Sukur sukur menemukan pohon Durian atau buah Apel. Namun sepertinya harapan tinggal harapan. Yang ada hanyalah pohon Jambu kluthuk. Itupun belum berbuah.

Cakra bersiap ancang-ancang untuk melompat masuk kedalam hutan ketika menyadari sepasang monyet menatapnya penuh selidik. Cakra mendengus, jelas Monyet tersebut ingin merebut buntalan pakaian yang dia bawa. Cakra segera menyambar buntalan bajunya yang masih berada di atas punggung Kudanya. Kemudian tersenyum nyengir kearah monyet yang sepertinya kesal denganya. Dengan menyangklong buntalan bajunya yang tidak seberapa Cakra masuk kedalam hutan. Mencari buah hutan yang mungkin bisa dimakan.

***

Pandangan mata Cakra tertuju pada sedapur Pohon Pisang hutan yang berbuah merah ranum  Sebagian sudah rusak dicabik cabik Burung. Namun masih banyak yang bisa dimakan.
Cakra bersiap melompat menyambar tandan Pisang yang masak tersebut ketika lamat lamat dia mendengar suara percakapan dari jauh.
Cakra menajamkan pendengarannya, melompat ringan menuju asal suara.
Melesat mengawasi enam orang yang saling berhadapan.

Mak deg!!!

Dada Cakra berdetak hebat. Pandangan matanya membelalak.

Putri!!

Tidak salah lagi, gadis yang berhadapan dengan keempat laki laki tersebut adalah Tribuana Tunggadewi alias Putri.  Gadis yang selama ini dia cari cari. Gadis yang menjadi alasan dia terlahir di jaman Majapahit ini.
Namun kekagetan Cakra tidak berhenti sampai disitu. Jelas! keempat pria didepan Putri adalah pamannya, Paman Ranggalawe. Sedangkan para pengawalnya adalah teman teman seangkatannya yang menjadi pemimpin beberapa kesatuan prajurit. Salah satunya Raden Samba. Senopati pilihan terbaik dari yang terbaik alias anggota Bayangkara.
Diantara mereka berdiri seorang wanita paruh baya, posisinya tepat disebelah Putri.
Sepertinya terjadi perdebatan antara pamannya Ranggalawe dengan Putri. Putri nampak marah dan meninggikan suaranya.

"Jadi paman! Saya ulangi, apa paman berniat memberontak terhadap Majapahit?!" tanya Putri meyakinkan.

"Ampun Tuan Putri, bagaimana mungkin hamba ingin melakukan pemberontakan? hamba hanya ingin Majapahit dipimpin oleh seorang raja yang cakap adil dan layak dihormati sebagai seorang Raja, bukan seorang Raja seperti Jayanegara yang tidak pantas untuk menjadi Raja. Tuan Putri, kami selaku para pendiri Majapahit tidak rela kerajaan yang besar ini hancur di tangan raja yang tidak becus" ada nada kemarahan dan kesedihan dalam ucapan Ranggalawe.

Ranggalawe menyembah Putri, diikuti para Senopati pengawalnya.

"Tuan Putri, sudilah Tuan Putri memimpin kami, jadilah Ratu kami, hanya Tuan Putri yang pantas jadi Ratu Majapahit" mendengar permohonan para bawahannya tetap saja Putri bersikukuh bahwa itu sama saja pemberontakan.

"Paman! saya tahu, Raka Prabu mungkin tidak cukup cakap dalam pemerintahan. Namun paman harus tau, dia terus belajar. Beri kesempatan Raka Prabu untuk terus menjadi Raja!. dan sedikit terlintas dipikiran paman dan segenap Panglima maupun Senopati untuk meragukan Raka Prabu maka saya anggap itu peberontakan!" ucap Putri tegas.

"Jika memang demikian keputusan Tuan Putri, saya ragu, saya bisa tetap setia kepada Baginda Raja. Lebih baik selaku Panglima Tertinggi Majapahit Tuan Putri sudi menghukum mati kami berempat" ucap Paman Ranggalawe tanpa ragu.

Sementara itu Ranggawuni memilih diam mematung, namun tetap waspada. Dia tau Ranggalawe adalah salah satu mantan bawahannya yang terbaik. Pengabdiannya kepada Prabu Raden wijaya tidak bisa diragukan. Dulu mereka bersama sama membangun Majapahit dengan tetesan keringat dan darah.
Dalam hati kecil Ranggawuni, dia lebih memihak Ranggalawe daripada Prabu Jayanegara. Namun dia tidak mungkin juga melawan muridnya sendiri Dyah Tribuana Tunggadewi.

Suasana hati Tribuana sedang buruk karena kegalauan dia berpisah dengan Cakra. Ditambah ulah Paman Senopati Ranggalawe yang membujuknya untuk melakukan pemberontakan. Benar benar membuat Putri hilang kesabaran. Bagaimana bisa dia menentang keputusan Ayahanda sendiri yang menetapkan Putra tertuanya itu sebagai Raja. Bagaimana nanti di akhirat kelak dia menampakkan wajah dihadapan Ayahandanya?.
Seburuk apapun kelakuan Raka Prabu tapi dia adalah Raja pilihan Ayahandanya.

Sabdo pandito Ratu.

Putri mendengus kesal penuh amarah. Menoleh menatap gurunya Ranggawuni.

"Guru, saksikanlah! hari ini saya akan menghukum para penghianat negara ini!".

"Tuan Putri....kumohon" suara Ranggawuni tercekat _ "jangan lakukan itu".

Ranggalawe berdiri tanpa gentar sekalipun. Demikian juga Tribuana. Dia mengacungkan pedangnya tepat ke arah Senopati pilihan dan kesayangan Ayahanda tersebut.

"Paman... _Suara Tribuana tercekat. "ini bukan soal dendam atau permusuhan, tapi ini demi tegaknya Majapahit!"
Bersamaan dengan itu Tribuana menebaskan pedangnya kearah leher Ranggalawe yang sama sekali tidak melawan.
Kurang sedetik pedang itu menyasar batang leher Senopati, sesosok tubuh melesat. Berdiri tepat ditengah tengah antara Ranggalawe dan Tribuana.
Kedua tangan orang tersebut bergerak cepat, merentang. Tangan kiri menangkap pergelangan tangan Tribuana yang memegang pedang.  Tangan kanannya melancarkan gerakan seolah olah telapak tangannya menempel ke dada Senopati Ranggalawe. Namun tangan tersebut tidak benar benar menghantam dada Ranggalawe.  Kekuatan angin dari telapak tangan tersebut seperti telapak tangan Buda Culai, yang langsung membuat Senopati Ranggalawe terpental jatuh.
Dan penyerang misterius itu menutup mukanya dengan kain.

________________
vote share dan komen mas mbak yg kece.. biar author semangat 😃

Dyah Tribuana Tunggadewi Where stories live. Discover now