Suatu Pagi di Taman Kadipaten

1.2K 109 2
                                    

Pagi yang cerah! secerah hati Dyah gitareja sang Putri Majapahit yang sedang dilanda asmara. Sinar matahari mengintip malu malu dari balik rimbunnya pepohonan yang berjejer rapi di Taman Kaputren. Sebuah kebun yang cukup luas. Bunga bunga tumbuh seperti benih yang dicampur dan disebar begitu saja. Hasilnya? Taman kaputren penuh warna warni bunga. Tapi anehnya meskipun seperti ditanam sembarangan, bunga bunga tersebut lebih terlihat indah dan alami.
Atau mungkin karena suasana hati Tribuana yang lagi berbunga bunga sehingga semua yang terlihat begitu indah?.
Seandainya Tribuana mau menyusuri taman sampai pojok Utara, dia akan menemukan kebun sayuran yang tumbuh subur,  juga kebun tanaman obat di sisi kanan Taman. Beberapa dayang hilir mudik seperti memetik sayuran. Tidak ada yang berani mendekati Tribuana. Sebelumnya dua Dayang yang kusus melayaninya dia usir secara halus.
Iya... Tribuana ingin sendiri. Dia tidak ingin diganggu. Tidak ada yang boleh mengganggunya kecuali Cakra.

Tapi sayangnya sang penganggu yang ditunggu tunggu malah belum datang juga. Kemana dia? Ya masih tidur lah.
Ternyata meskipun sudah pindah jaman, kebiasaan tidur ala Kebo Cakra tidak berubah.

Tribuana sedang membungkuk, mencium harumnya bunga yang berwarna merah kekuningan, ketika dia merasakan ada sesuatu yang melintas tepat disamping kanan kepalanya. Tanpa perlu mendongak, apalagi melihat sesuatu melesat didekat telinganya, refleks tangannya menangkap benda itu.
Tribuana menatap benda yang kini bertengger mulus dalam genggamannya.
Ternyata Seikat bunga dengan berbagai jenis.
Siapa lagi kalau bukan Cakra?!.
Tribuana mendengus.
Dimana romantisnya coba?. Masak ngasih bunga pacar sambil dilempar?. Mentang mentang pendekar!.
Tribuana menegakkan tubuhnya, bersiap memasang wajah cemberut. Namun apa daya, keinginan hatinya dihianati wajahnya sendiri. Melihat Cakra berdiri gagah kurang tiga tombak didepannya, tanpa bisa dia cegah, wajahnya malah tersenyum manis kearah Cakra. Tangannya yang memegang bunga yang dilempar Cakra ikut berhianat. Mengangkat bunga tersebut dan menempelkan kehidung. Bahkan hidungnya ikut ikutan menghirup harum bunga tersebut.
Cakradara tersenyum manis. Membungkuk memberi hormat.

"Selamat pagi yang mulia Panglima Agung Gusti Putri Dyah Gitareja."

Tribuana menatap gemas Cakra, rasanya ingin melempar bunga yang dia pegang, tapi Putri Sayang, Sayang Cakra maksudnya.
Sebagai gantinya Tribuana mendekat, matanya melirik beberapa Dayang yang seolah olah selesai dengan kesibukannya dan buru buru masuk kedalam. Menyisakan mereka berdua.

"Mmmm... Cakra, menurutmu mana yang lebih cantik? bunga yang merah kekuning Kuningan ini atau yang kuning kemerah merahan ini?." Tanya Tribuana. Terlihat jelas dia sedang menyembunyikan rasa malu dan salah tingkah karena habis kena cipok Cakra. Sedangkan para Dayang belum benar-benar masuk kedalam. Mungkin mereka melihat tapi pura pura tidak tau.

"Tentu saja bunga yang ini, warnanya indah putih kemerah merahan. Ucap Cakra. Tangannya membelai pipi Tribuana yang bersemu merah.
Dan sekali lagi hati Tribuana dibuat Ambyar. Menatap antara gemes dan mesra Cakra.

"Sejak kapan kamu pinter modus?" tanya Putri akhirnya setelah kalah saling adu pandang.

"Wah aku baru tau dijaman Majapahit ini sudah ada istilah modus" goda Cakra.
Tentu saja Putri ngerti lah, diakan pernah hidup di dunia modern.

"Huh..." Tribuana mendengus. Pura pura memetik bunga demi mengalihkan pandangan dari Cakra yang terus menatapnya.

Dalam kitab Asmara Bab 8 nomer 3 disebut kan.  "jika .....ah sudahlah....

"Putri...

"Hem???."

Sepi.

Sepi.

"Permisi" bisik Cakra disela telinganya.

Kali ini para Dayang sudah tidak ada ditaman.

Selanjutnya Pipi Tribuana terasa hangat.  Bahkan hangatnya tembus sampai jantung dan hati.

Dyah Tribuana Tunggadewi Where stories live. Discover now