Cluster 3

3K 198 6
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,

***

"Saat kau menjalani masa yang berat, saat semuanya terasa seperti melawanmu, katika kau merasa tak dapat bertahan semenit lagi, Jangan Menyerah! Karena itulah saat dan tempat dimana situasi akan berubah." Bait-bait indah penuh semangat Maulana Jalaluddin Rumi kurempal rapat-rapat dalam hati. Kutumbuhkan semangatku sendiri. Berkali-kali kuyakini bahwa ini semua hanya sebuah mimpi. Mimpi burukku sebab lupa berwudhu' sebelum tidur tadi. Berharap setelah aku bangun dari tidur dan lenyap dari mimpi, kebahagian bertubi datang menghampiri. Keindahan masa depan yang siap kuraih.

Sekali lagi bukan.

Ini Bukan mimpi.

Ini nyata.

Tangisku kembali meronta-ronta.

Kutatap pantulan wajahku yang nelangsa di cermin. Kubiarkan Mbak Alya yang mempunyai bakat rias memoles wajahku dengan kemampuanya. Walaupun itu akan percuma, sebab pasti akan terkikis oleh derasnya air mata derita.

"Cup cup cup Dek Rum, sudah, yang tenang ya," ucapnya lembut. Mbak Alya meletakkan bedak foundation dari tangannya. Kemudian beralih menepuk-nepuk pundakku yang terguncang sebab tangis yang sampai sesenggukan.

"Kenapa Buya tega sama Rum, Mbak Al!"

"Hush, nggak boleh bilang gitu Rum, Mbak Al yakin ini semua demi kebaikanmu!"

Aku terus menangis histeris. Tak kupedulikan tatapan kasihan Mbak Luha dan Mbak Lela (Mbak-mbak Ndalem) yang sepertinya terlihat berkaca-kaca juga, tak tega.

Gamis putih indah pemberian Ummah yang kukenakan ini terlihat seperti gamis duka. Gamis yang akan menjadi pembuka hidupku dalam melalui hari-hari kelamku, hari-hari penuh nestapa.

Sebagai generasi milenial, tentu saja aku memiliki wedding dream sendiri. Seorang laki-laki tampan sholeh yang menguasai hal-hal dunia akhirat melamarku dengan sekuntum bunga Angelica putih yang melambangkan ketulusan hati disertai puisi-puisi indah Jalaluddin Rumi atau syukur-syukur karangannya sendiri, pesta pernikahan mewah indor bertema gold white yang berkonsep sederhana tapi elegan seperti tema bergaya rustic, gaun indah menjuntai, kami berdua saling menggamit tangan dengan mesra, teman-temanku datang memeriahkan, kemudian semarak rebana para santri mengisi suasana khidmat. Ummah dan Buya duduk di pelaminan jua dengan bahagia, yang disempurnakan dengan lantunan doa-doa baik dari tamu para kiai undangan Buya. Sungguh, aku sangat mengiginkan hal itu.

"Nah, akhirnya air mata Dek Rum berhenti juga. Jangan nangis lagi ya, Mbak Al janji akan menyulap Arumi yang cantik ini menjadi semakin cantik bak bidadari!" Mbak Alya meraih kembali peralatan make up yang diletakkannnya tadi. Kemudian menyagarkan wajahku menggunakan air mawar.

Aku diam tak bersuara.

Diam tak bergerak,

Diam tak berkedip.

"Mbak Luha, tolong buatkan Ning Rum air madu ya, biar agak tenangan."

Mbak Ndalem yang mengenakan sarung batik yang dipadu dengan blouse dongker mengangguk takzim, "Nggeh Ning Al,"

"Saat Tuhan ingin menolong, Dia membiarkan kita menangis. Dimana pun air mengalir, kehidupan berlangsung dengan indah. Dimana pun airmata bergulir, rahmat Ilahi akan tercurah. Mbak Al yakin kamu pasti sudah saat paham tafsiran dari sajak Jalaluddin Rumi tersebut 'kan Rum?"

Aku mengangguk pelan.

Namun meyakinkan diri sendiri sungguh sangat sulit.

Mbak Luha pembawa wedang madu datang menghampiri, meletakkan segelas hampir penuh wedang madu kesukaanku. Kemudian berbisik pelan di telinga Mbak Alya. Entah membicarakan apa. Aku tak mengetahui.

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang