Cluster 55

3K 152 19
                                    

Bismillahirrahmaanirahiim,,


INI NO CUT NO EDIT BENERAN GAIS, SORRY BGT KALAU CERITANYA AMBURADUL NGALOR NGIDUL EHEHEHE

BTW MAKASIHHHHHHHHHH BANGET UNTUK KALIAN YANG NGEVOTE DAN KOMENT DI CLUSTER KEMAREN.  Karena kalian, aku jadi punya semangat lanjut meskipun baru bisa update seminggu kemudian huhu.

Pelan-pelan lah ya, wkwkkwkw

***

Dua mobil pick up rombongan yang berisi 12 anggota kelompok kkn-ku berhenti tepat di pekarangan sebuah rumah tua. Perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, akses jalannya pun terjal dan menanjak. Lebih parah dari arah perjalanan menuju rumah ustadzah Zidna. Membuat tubuh kami yang hanya duduk ber-alasan tikar jerami tanpa joke lembut mobil biasanya, mengeluh sakit pinggang semua.

"Ah! Mantab kali rasanya. Belum apa-apa udah remuk badan aing!" Nancy, gadis non islam dari jurusan peternakan menggerutu kesal.

"Ini tak seberapa Nancy, jalan menuju rumahku malah lebih parah dari ini." Hanum, yang memang rumahnya berada di lereng gunung Merbabu menimpali.

"Ah, udah akhir 2023 kenapa jalanan Indonesia masih kayak di tahun penjajah si!" Meggy ikut menyahut. Menurut cerita, dia adalah anak salah seorang pejabat, namun memilih pergi dari rumah karena lingkungan keluarganya terkenal toxic.

"Rum, rumahnya beneran ini 'kan?" Nancy mendekatiku yang sedang menurunkan barang-barang bawaan dari atas pick up. Maklum saja, sewaktu observasi lokasi, Nancy tidak mengikuti.

"Bener Nancy, eh itu Pakde Kasim datang." Kami mendekati bapak tua yang muncul dari arah samping rumah tua.

"Assalamu'alaikum Pakde!" temen-temen lelaki bergantian menyalami tangan Pakde Kasim, pemilik rumah tua. Usianya mungkin sekitaran 70 tahun, namun masih terlihat sangat bugar.

"Wa'alaikumsalam. Kok malam sekali nyampainya? Sudah ditunggu dari pagi loh."

"Ngapunten Pakde, di kota hujannya lebat. Baru reda sore tadi."

"Loalah kasian sekali. Untung tidak nyasar di perjalanan. Apalagi lampu-lampu di desa kami banyak yang mati."

"Tadi sempat nyasar Pakde, tapi alhamdhulillah seorang warga mengantarkan kami sampai perempatan depan." Aku yang menjawab.

"Oh nggeh-nggeh. Sekarang kalian langsung makan malam dahulu, setelah itu istirahat. Beberesnya besok saja."

"Nggeh Pakde."

"Untuk perempuan, bisa tinggal di dalam rumah nggeh. Biar yang laki-laki sementara tidur di mushollah." Pakde Kasim menunjuk musholla kayu yang letaknya tepat di sebelah kanan rumah tua. "Rumah satunya lagi, masih dibenahi, airnya sudah lama mati." Pakde Kasim menunjuk kearah rumah bentuk serupa di seberang jalan. Rumah yang digadang-gadang akan ditempati oleh teman laki-laki.

"Rum, sini aku yang bawain deh! Dari tadi aku lihat jalanmu kayak aneh. Kakimu lagi sakit?" Nancy merebut kardus dari tanganku. Pertanyaannya membuatku gelagapan.

"Eh iya nih, kayaknya aku tadi salah posisi duduk, jadinya kaku semua kakiku." Aku merutuk dalam hati. Semoga saja alasanku masuk akal.

"Perlu dipijet ndak? Mungkin saja di kampung ini ada tukang pijit. Tugas kita sebulan agak berat loh. Takut kaki kamu kenapa-kenapa."

Aku menggeleng kuat. "Makasih Nan, mungkiin besok udah gapapa kok."

"Serius?" Wajah Nancy tampak tak percaya. Ia memperhatikan langkahku yang tertatih dengan seksama. Oh, ini sungguh gegara ulah Gus Sena!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang