Cluster 4

3K 196 9
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,

***

"Ning Rum sudah hapal belum?" Aku yang saat itu masih berusia 12 tahun tersenyum tanpa dosa. Jilbab instan Rabbani andalanku jaman kecil membentuk pipiku menjadi tampak sangat bulat.

"Ini hari pertama Rum masuk SMP Ustadz, tadi Rum pulangnya jam 2 siang, terus Rum tidur istirahat. Bangun-bangun langsung berangkat diniyah. Rum belum sempat menghapalkan nadzam Imrithi bait 110 nya Ustadz.." Aku menjelaskan.

Ustadz Avicena tersenyum, "Saya kasih waktu 15 untuk menghapal cukup?"

Aku mengangguk mantab. "Cukup ustadz, cukup banget untuk 10 bait, bahkan lebih Rum juga bisa kok!" kataku agak sombong. Biasanya, jika sedang dalam keadaan mood baik aku bisa menghabiskan 10 menit saja untuk 10 bait.

"Baik, monggo Ning Rum menghapal nadzammannya, tapi sambil berdiri di luar kelas ya!"

Aku tersentak. "Loh kok gitu ustadz?"

"Peraturannya sudah begitu Ning, temen-temen yang lain juga begitu. Silahkan berdiri diluar kelas."

Aku berjalan dengan perasaan kesal. Dalam hati menggerutu, mengapa Ustadz Avicenna berani sekali menghukum Ning-nya. Astaghfirullah, maafkan Rum kecil yang mengening Ya Allah.

Kala itu, Ustdaz Avicenna merupakan Ustadz termuda jebolan pondok asli. Usianya saat itu mungkin sekitaran 18 tahun. Beliau juga merupakan wali kelasku di diniyah.

Yang ku tahu, Buya sangat menyukai Ustadz Avicenna. Diluar lingkup bidang pengajaran, Ustadz Avicenna adalah Khadam kesayangan Buya. Selalu diajak tindak(bepergian) kemana-mana, diajak ngobrol berdua, dan menjadi kang pijit favorit Buya.

"Arumi gimana di madrasah Sen?" Aku yang saat itu sedang mengaji di semak Ummah tanpa sengaja mendengar percakapan keduanya. Telingaku menjadi sangat tajam tatkala ada yang membicarakan namaku. Mungkin, orang laij juga sama sepertiku.

"Ning Rum akhir-akhir ini sering tidur di kelas, Buya!" Aku yang sedang membaca Al-Qur'an juz 16 surah Maryam langsung menghentikan bacaan.

"Loh Rum, ayo dilanjut. Kok berhenti?" tegor Ummah.

"Hussh, sebentar Ummah." Jari telunjukku berhenti di depan bibiir. Ummah menggeleng tak heran.

"Loh, ya marahin saja anak itu. Biar tidak kebiasaan! Biar bisa belajar menghargai guru juga."

"Tapi Beliau termasuk cerdas sekali Buya, saget menjawab pertanyaan yang saya berikan."

"Cerdas tak lagi bermakna jika tidak memiliki akhlaq yang baik, Sen!"

"Ning Rum kecapean Buya. Katanya pulang sekolahnya siang, Makanya di madrasah diniah Ning Rum tertidur."

"Loh loh loh, dasar bocah! Aku sekolahkan di sekolah Tsanawiyah berbasis pesantren menolak dia Sen. Pengennya di umum, wes ra ngerti aku Sen menghadapi Rum itu."

"Semisal coba dipondokkan di pondok modern pripun Buya? Mungkin saja Ning Rum saget betah!"

"Loh iya ya, Rum itu tipe orang yang tidak kerasanan Sen, tipe yang tidak bisa hidup susah, keras kepala sekali dia!"

"Mungkin bisa dicoba Buya, barangkali betah."

Benar saja, setelah perbincangan tersebut, Buya memaksaku mondok di salah satu pesantren modern. Dengan dalil percobaan seminggu saja.

Namun, bukan Arumi namanya jika hanya tinggal diam. Belum genap 3 hari, aku berhasil meloloskan diri. Saat mengantri pulang sekolah aku kabur melalui gerbang samping. Kemudian menumpang mobil sayur yang kebetulan menuju arah Malang.

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now