Cluster 36

1.4K 105 4
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim


Seperti biasa gais, No Cut, No edit hehe.



***

"Gus, makasih loh udah dibelanjain banyak gamis hehe." Aku mengeluarkan beberapa potong gamis dari tas belanjaan. Pagi tadi, selepas sarapan, Gus Sena mnembawaku belanja di pusat kota. Disana, kutemukan berbagai model gamis dari banyak merk yang cukup terkenal.

Gus Sena tersenyum, ia melepas ponselmya yang telah di mengisi daya sedari tadi. "Sama-sama Ning, ini tidak seberapa, santai saja. Eh, tapi ngomong-ngomong, saya jarang banget lihat Ning Rum memakai gamis. Tidak suka atau bagaimana Ning?"

"Rum memakai gamis saat ada acara penting saja sih Gus, contohnya ketika ada pertemuan keluarga, hari raya, ya gitu itu doang si."

"Saat kuliah?"

Aku tersentak, kemudian tertawa mendengar pertanyaannya. "Ya nggaklah Gus, yakali Rum ke kampus pakek gamis, dibully nanti."

Gus Sena mengernyitkan keningnya. "Dibully bagaimana maksudnya Ning?"

"Gus Sena tau sendiri kampus Rum bukan kampus islam bukan? Yang menggenakan hijab sekarang memang cukup banyak, tapi jarang banget dari mareka ada yang mengenakan gamis. Saat ada yang mengenakan gamis, mereka langsung jadi pusat perhatian loh Gus, terlihat alim banget, orang-orang religius tingkat dewa gitu."

Gus Sena mandut-mandut. "Jadi Ning Rum tidak mengenakan gamis hanya karena enggan dikatain sok alim atau manusia dengan religius tingkat dewa?" Nada bicara Gus Sena tampak tak biasa, aku tertawa sebagai tanggapan.

"Bukan gitu Gus, bukan! Kalau Rum lebih ke kenyamanannya sih. Rum itu banyak geraknya Gus, kata orang agak begidakan, duh gimana ya." aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, bingung cara menjelaskannya.

"Gimana hayo."

Aku mendekati Gus Sena yang yang sedang merapikan kitab-kitabnya yang tidak berantakan.

"Ya gitu lah pokoknya Gus, pakaian gamis kurang cocok dipakai Rum yang keakehan tingkah. Bisa mengurangi value dari gamisnya itu wkwkwk."

Gus Sena menggeleng ta heran. "Lah terus, Ning Rum sukanya pakai apa? Sarung? Dasster? Atau mukena?"

"Hahaha receh banget sih Gus, yakali Rum kuliah pakai mukena. Rum lebih nyaman pakai rok, sesekali juga pakai kulot gitu. Tapi jangan salah sangka, baju yang Rum pakai saat mengenakan kulot model tunik semua, kebanyakan dari mereka panjanganya hampir selutut kok."

"Kalau baju yang dikenakan ketika menggunakan rok?" tanay Gus Sena lagi.

"Kondisional dong Gus, ga tentu."

"Baiklah, terserah Ning Rum saja." Gus Sena buang muka membuatku merasa heran.

"Lah ya jelas terserah Rum dong Gus, kan emang Rum yang pakek."

"Nggeh nggeh nggeh, Ning Rum bener sekali."

Aku menjauh dari Gus Sena yang tampak aneh. Dia kenapa sih?

Aku kembali melanjutkan aktivitasku mengemas baju dan beberapa gamis yang berantakan, begitu juga dengan Gus Sena yang tetap merapikan tatanan kitabnya yang kurasa tidak berantakan sama sekali.

Keadaan kamar menghening, yang terdengar hanya suara murattal surah an-naba dari speaker pondok pesantren putra.

Seusainya, aku mendekat kearah jendela, kemudian membuka dannya lebar-lebar. Udara segar khas pedesaan langsung berebut masuk ke rongga hidung. Menghasil sebuah ketenangan yang tak biasa. Dari jendela lantai dua kamar Gus Sena yang menghadap ke barat, bisia kulihat dengan jelas sawah-sawah yang membentang luas, rumah pemukiman warga yang berbaris rapi, pohon-pohon kelapa yang melambai, dan yang paling menakjubkan lagi, ada sebuah gunung indah bertengger dengan anggun di belakang rumah. Dibelakang rumah meskipun dengan jarak puluhan kilo hehe.

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang