Cluster 37

1.4K 100 5
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,


Seperti biasa gais, No Cut No Edit hehe.


***

Thola'al Badru Alainaa

Min Tsaniiyatil wadaa'

Wajabas Syukru 'alaina

Ma da'a Lillahi daa'

Riuah suara merdu sholawat badar yang dibawakan oleh santri-santri Gus Sena mengiringi kereta kencana yang membawaku dan Gus Sena mengelililingi desa setempat. Sebelumnya, aku tak pernah menyangka akan diarak seperti ini. Dikawal oleh beberapa santri hadroh, dan di iringi oleh beberapa santri putri yang berjumlah kurang lebih seratus orang.

Aku menoleh kearah Gus Sena, ia melempar senyum terbaiknya kepada para warga yang menyangsikan arakan pengantin ini dari halaman rumah masing-masing.

"Hmtalaaa ganteng karo ayu dicampur to yo, dadi piye anak e lak an?" kasak-kusuk tetangga samar-samar terdengar.

"Mantune Kiai Ghani putra Kiai pisan to?"

"Yo jelas to Yu, putra kiai pasangane putri kiai, anak ewong biasa yo gandengane anak e wong biasa pisan, biar mukafaah. Kalau tidak begitu kasihan, takut berat di perjalanannya."

"Tapi jodoh ono seng ngatur loh, nggak mesti."

"Ancen ga mesti, tapi kebanyakannyamenag begitu."

"Gus, ini rutenya masih panjang ya? Kalau dipir-pikir, Rum malu juga." Bisikku kepada Gus Sena.

"Tidak akan lama lagi kok Ning. Mungkin kurang satu belokan lagi terus langsung menuju ke rumah."

"Gigiku kering karena kebanyakan senyum dari tadi loh Gus." Protesku lagi.

"Sabar Ning, sabar. Setelah ini Ning Rum masih akan tetap dituntun menebar senyum sampai malam, sampai acara walimah pernikahan selesai."

Aku menelan ludah berat. Kata orang, di harii pernikahan, perempuan seakan menjadi ratu, tapi yang sebenarnya kurasakan? Ratu yang yang menderita mungkin lebih cocok. Senyum memang ibadah, tapi jika harus senyum tanpa jeda selama seharian? Yo ra kuat aku Mas!

"Ning, jika berjalan kearah sana, kita akan menemui sebuah coban kecil tapi sangat indah." Aku menoleh kearah jalan berbatu yang ditunjuk Gus Sena.

"Seberapa indah?"

"Ya tidak terlalu iindah sih, biasa saja jika dibandingkan dengan keindahan Ning Rum." Aku mendelik mendengar godaan yang dilontarkan Gus Sena.

"Ga lucu, Gus!"

"Lah, saya memang bukan pelawak, Ning!"

"Yaudah, kapan kita akan main kesana, Rum jadi penasaran kan!" Gus Sena tertawa mendengar penuturanku. Jalanan yang kita lalui sudah memasuki kawasan jarang pemukiman, sehingga tidak terlalu membuatku terus menebar senyum.

"Suatu hari sebelum kita kembali ke Malang."

Aku mengangguk, "Baiklah."

Aku dan Gus Sena kembali terdiam, hanya riuh suara rebana yang memecah keheningan. Tiba-tiba, Gus Sena menoleh kearahku.

"Apa Gus?" tanyaku heran, namun tak ada sahutan.

Satu menit, dua menit, bahkan hampir 3 menit, Kedua bola mata kami saling betabrakan, namun dengan arti pandangan yang berbeda. Gus Sena dengan pandangan matanya yang entah bagaimana, aku dengan pandangan mataku yang keheranan.

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now