Cluster 54

2K 166 26
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,,

ASSALAMUALAIKUM REK, AKHIRNYA LOGIN WATTPAD LAGI SETELAH SEKIAN PURRNAMA!

Mafkan aku yang php ya, setelah ini, semoga rajin update sampee tamat amiiiinnnnnn.

Yang lupa alur, scroll keatas lagi hihi.

Selamat membaca, semoga nyambung dan banyak yang suka!

***

"Cinta adalah rahasia yang terbuka, hal yang paling nyata di dunia sekaligus paling tersembunyi. Tak ada yang tahu bagaimana ia menyimpan misteri." (Jalaluddin Rumi)

"Gus, tidak mengaji di masjid pondok putra?" Gus Sena yang sedang menatap sendu kearah hujan dari balik jendela menoleh ke arahku. Selama Gus Sena menjadi suamiku, belum pernah sekalipun ia absen mengisi ngaji kitab shubuh. Kecuali ketika bepergian.

"Hayo, pasti mager bukan? Hujan-hujan diwaktu shubuh begini emang paling nikmat tidur saja gus." Ucapku lagi, tanganku masih tetap gesit memasukkan skincare dan make up ke dalam pouch yang akan kubawa selama kkn nanti.

Terdengar tawassul dari speaker masjid. Sepertinya Gus Sena meminta salah seorang ustadz untuk membadalinya.

"Bukan Ning, saya izin tidak mengaji di masjid shubuh ini bukan karena hujan ataupun mager."

"Terus?"

Gus Sena tidak menjawab. Dia bergerak pelan mendekatiku. Kemudian duduk tepat di sisi ranjang di sebelahku.

"Hari ini istri saya akan pergi lama, bagaimana mungkin saya tidak ingin menghabiskan waktu untuk sekedar menatap wajahnya?"

Aku pura-pura tak mendengar ucapan Gus Sena. Tanganku masih sibuk menata skincare yang sebenarnya telah rapi dan tak perlu diotak-atik lagi.

Ah Gus Sena tega sekali, shubuh begini membuat gendang hatiku bergemuruh saja.

"Ning Rum," suara gus Sena melembut.

"Eh, iya Gus, tadi Gus Sena bilang apa? Rum ga dengar hehe, suara hujan deras sekali sih!"

"Ning Rum, bolehkah saya meminta hak sekarang?"

Aku terdiam, gemuruh di dalam dadaku semakin menggebu. "Hak apa yang Gus Sena maksud? Apakah hak yang itu? Atau hak yang lain? Oh Ummah tolong Rum!" jeritku dalam hati.

"Ning Rum, bagaimana?"

Aku masih terdiam, harusnya, aku bisa dengan lantang mengucapkan kata penolakan. Tapi, entah mengapa seperti ada yang memaksaku untuk diam.

"Hak yang bagaimana gus?" suaraku tampak tercekat.

Tanpa menjawab, Gus Sena menggerakkan tangannya untuk melepas jilbab instan bergo yang kukenakan. Tentu saja aku tersentak kaget.

"Jenengan cantik sekali, Ning!" suara Gus Sena melembut. Jilbab milikku ditaruhnya secara asal.

Aku pura-pura tertawa mendengar penuturan Gus Sena. Tawa yang terdengar cukup sumbang dan aneh. "Rum cantik sejak masih di dalam kandungan Gus, masak ga nyadar si?"

Gus Sena tersenyum, senyum simpul yang dapat membuat benteng pertahananku lebur.

"Pasti karena ummah istiqomah membaca surah Maryam dan yusuf."

Aku mengangguk, seringkali kudengar Ummah memberikan wejangan kepada Mbak-mbak santri maupun alumni yang akan menikah, supaya istiqomah membaca Al-qur'an, terlebih surah Maryam dan Yusuf.

"Suatu hari, kalau Ning Rum hamil, saya yang akan selalu melantunkan surah-surah itu dari pangkuan Ning Rum langsung."

Aku terdiam, ah ucapan Gus Sena semakin melantur saja!

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang