Cluster 6

2.8K 169 10
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,

***

"Ning Rum, mau saya bantu?" tawar Gus Sena saat melihatku tengah kesulitan melepas jarum pentul yang Mbak Alya bubuhkan di aksesoris atas kepala. Aku menoleh sekilas.

"Tidak perlu." semburku dingin.

Gus Sena mengangguk, kemudian menuju kamar mandi, mungkin mengambil wudhu' atau mandi.

Sepeninggalnya, aku bernapas lega. Jujur saja, selama ini belum pernah aku satu ruangan sedekat ini dengan laki-laki. Meskipun bukan dengan orang yang dicinta, tetap saja terasa resah.

Aku menghembuskan napas kasar, menyusun rencana bagaimana cara menghadapi Gus Sena kini dan seterusnya. Sebisa mungkin, aku harus berusaha membuatnya membenciku agar tidak tahan untuk hidup lebih lama denganku. Semoga saja bisa.

Aku teringat perkataan yang disampaikan Bunyai Lutifah tadi, dengan gesit, kuraih remote ac. Mengontrol ruangan menjadi sedingin mungkin.

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi bergesek dengan lantai. Aku melirik sekilas dari cermin, Gus Sena keluar dengan wajah segar, namun kelelahannya masih tampak jelas. Maih kupantau tingkahnya dari ekor mata kiriku, kulihat tubuh Gus Sena menjadi menggigil setelah mendapati suhu ruangan yang berubah menjadi sangat dingin.

"Rum nggak suka panas." sahutku tanpa ditanya. Gus Sena menoleh.

"Tidak apa, Ning!" jawabnya dengan bibir tersenyum. Buru-buru aku mengalihkan pandangan.

Aroma maskulin dari tubuhnya terdengar kuat di indra penciumanku. Oh tidak! Jangan harap aku akan memberikan sesuatu yang seharusnya, tidak akan!

Gus Sena menggelar sajadah yang ia dapatkan dari koper miliknya.

"Ning Rum tidak sholat?" tanya Gus Sena sembari membetulkan posisi kopyah.

Aku menoleh sekilas, "Sedang udzur." jawabku, lalu melangkah masuk kamar mandi. Sengaja meninggalkannya dengan ekspresi wajah yang kelihatan terkejut.

***

Bukannya berbohong atau akal-akal belaka. Kali ini aku memang tengah datang bulan sejak siang tadi. Jadi, tidak apa jika aku menghindari apapun yang mendekati pada hal-hal keintiman suami istri bukan? Aku tertawa menang dalam hati. Diluar sana, mungkin sekarang Gus Sena sedang meringkuk kedinginan.

Kuputar knop buka pintu perlahan. Rambutku yang hanya sebahu kubiarkan terurai. Bukannya niat pamer dihadapan Gus Sena, sungguh bukan. Hanya saja aku mencoba bersikap sebagaimana hari biasanya. Seperti tak ada siapapun dikamar ini kecuali aku.

Ceklek!

Gus Sena yang ternyata sedang menderes (muraja'ah) Al-Qurannya di depan jendela, menoleh spontan kearahku. Terlihat sedikit terkejut. Namun aku tak peduli. Ibarat tak ada siapa-siapa. Aku langsung menuju pembaringan. Menangis pilu seharian membuat jiwa ragaku lelah. Aku butuh banyak istirahat.

"Ning Rum mau langsung tidur?" Gus Sena bertanya seraya menatapku.

Aku menoleh kearahnya. Kemudian mengangguk sebagai jawaban.

"Baiklah, selamat tidur, Ning Rum! Mimpi indah!" katanya lagi. Aku terdiam tak menimpali. Selimut tebal kutarik menutupi seluruh bagian tubuhku. Dinginnya ruangan mulai menusuk-nusuk. Namun, Gus Sena masih terlihat biasa, tak mengalami perubahan sebab kedinginan, hanya sedidit menggigil saja, kemudian Ia kembali melanjutkan lantunan ayat-ayat Qur'an.

Aku tersentak mendengar bacaan Gus Sena tepat pada Surah Albaqoroh ayat 216 yang artinya berbunyi: "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesutu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang