Cluster 21

1.8K 134 4
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,

Yuhuu jumpa lagi! Biar nanti ga lupa, vote skarang aja hehe.

***

***

Cluster 21

Sore itu di balkon rumah, aku yang kebetulan pulang lebih awal dari biasanya tengah menemani Gus Sena mutholaah seraya menikmati angin sore dan beserta pemandangan dari atraksi-atraksi burung-burung merpati milik tetangga yang hinggap dari satu atap gedung ke atap lain. Tapi perlu kalian ingat, aku menemani Gus Sena hanya karena memang gabut dan tidak memiliki kesibukan, bukan karena hal lain.

Seorang santri datang membawa nampan berisi cangkir cokelat panas dan madu hangat.

"Siapa yang membuatkannya Mbak?" tanyaku kepadanya. Santri yang mengenakan blus dongker yang dipadu dengan kain sarung dari batik pekalongan itu bernama Mbak Luha, santri yang mengabdi di ndalem baru-baru ini.

"Niki yang damel (membuat) Ustadzah Zidna, Ning. Saya hanya membawakannya saja."

Aku manggut-manggut.

"Baiklah Mbak, titip salam untuk Ustadzah Zidna nggeh, dari Gus Sena. Katakan padanya bahwa Cokelat panas buatannya jan uwenak pol!" Gus Sena yang sedang fokus langsung menoleh kaget, begitu juga Mbak Luha.

"Ini amanah loh Mbak, wajib disampaikan."

Mbak Luha mengangguk ragu. "Nggeh Ning Rum, akan saya sampaikan. Nyuwon sewu." Mbak Luha undur diri secara perlahan.

"Kapan saya titip salam untuk Ustadzah Zidna Ning?" protes Gus Sena agak sedikit kesal.

"Rum itu cenayang Gus, Rum tau Gus Sena menyukai Cokelat panas buatan Ustadzah Zidna, dalam hati pasti ingin sekali memuji Cokelat panas buatannya bukan? Makanya Rum berinisiatif menitipkan salam kepadanya."

Gus Sena menggeleng tak heran.

"Takutnya, jika ada orang lain yang tahu, akan berpikiran yang tidak-tidak loh Ning."

"Aduh Gus, asumsi orang lain tidak penting."

"Ya penting to Ning. Kalau terjadi fitnah bagaimana?"

"Gus Sena mikirnya kejahuan. Percaya sama Rum deh, semua akan baik-baik saja."

Gus Sena menghela napas panjang. Pasrah.

"Yaudah atuh, silahkan fokus lagi kepada kitabnya, kasihan sekali di cuekin." kataku seraya menyesap pelan madu hangat milikku.

"Jenengan boten ingin mutholaah kitab bareng-bareng?" tanya Gus Sena, aku berpikir keras.

"Sebenarnya tidak ingin sih, tapi kalau Gus Sena ingin membaca dengan suara lirih, pasti akan Rum simak kok, baca aja gapapa Gus. Rum juga lagi nganggur ini."

"Yang paling Ning Rum suka kitab apa?" tanyanya lagi.

"Hm, kitab apa ya? Mukhtarul ahadist deh kayaknya."

Gus Sena manggut-manggut.

"Ya sudah, mulai selanjutnya biar saya mutholaah kitab Mukhtarul ahadist saja, tapi Ning Rum ikutan menyimak ya."

Aku mengangguk pelan. "InsyaAllah kalau udah di rumah, biasanya Rum pulang malam loh, hari ini kebetulan aja matkul kosong, terus nggak ada kegiatan lain juga."

"Baiklah Ning, tak apa."

"Rum aku titip surat dong!"

"Aku juga!"

"Aku juga!"

Aku menutup telingaku jengah, entah mengapa hari itu teman-teman sekolahku mendatangiku ke kelas. Menyerbuku dengan titipan surat untuk Ustadz Avicenna alias Gus Sena.

Terpikat Pesona Ning RumOnde histórias criam vida. Descubra agora