Cluster 7

2.5K 150 1
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,

***

"Bagaimana Mbak Zid?" Ustadzah Zidna yang biasa kupanggil Mbak Zid terdiam heran. Bingung dengan permintaan yang kuajukan.

"Teh buatan Mbak Zid terkenal enak. Jadi Rum ingin Mbak Zid membantu Rum membuatkan teh untuk Gus Sena. Mbak Zid tahu sendiri kalau Rum nggak bisa apapun urusan dapur bukan?"

Ustadzah Zidna spontan mengangguk pelan. Fakta bahwa aku tidak tahu menahu permasalahan dapur memang bukan rahasia lagi. Semua orang mengetahui. Suatu hari, aku pernah menyebabkan dapur kebakaran kecil hanya karena menggoreng telur mata sapi. Sejak saat itu, aku enggan masuk ke dapur apalagi menghidupkan kompor, trauma berat.

"Teh mawon boten saget, Ning?" (Teh saja tidak bisa kah Ning?) Ustadzah Zidna bertanya heran.

Aku nyengir kuda. "Sebenarnya Rum bisa sih Mbak, tapi ya gitu, hambar rasanya."

"Ya dikasih gula yang sesuai takaran toh, Ning. Biar tidak hambar rasanya."

Aku nyengir lagi, "Bukan hanya karena takaran gula saja Mbak, Mbak Zid ingat tragedi dapur yang kebakaran dua tahun lalu tidak?"

Mbak Zid mengangguk pelan, "Yang sampai membuat Ning Rum pingsan seharian itu bukan?"

"Nah, betul Mbak Nid! Sejak saat itu Rum tidak berani mendekati dapur, apalagi menghidupkan kompor."

Mbak Zid menggeleng heran, "Ish, ish, lantas mau trauma dapur sampai kapan to Ning Rum? Kejadian dua tahun silam bukan karena NINg Rum salah teknik dalam memasak, tapi memang Ning Rum lalai saja, mana ada orang goreng telur ditinggal hehe."

"Mbak Zid bener sih, tapi Rum butuh waktu loh Mbak, Rum pasti belajar masak. Tapi suatu hari nanti, entah kapan."

"Kalau untuk membuat teh atau kopi, bisa langsung menggunakan air dispenser kok Ning,"

"Iya Mbak Zid, Rum tau. Tapi ada yang pernah bilang kalau air yang direbus langsung dari kompor adalah air terbaik."

Mbak Zid tampak menggeleng-geleng lagi.

Selain dengan Mbak Ndalem, Ustadzah Zidna adalah satu-satunya santri yang sangat dekat denganku. Ketika ada masalah di ndalem, pelarianku adalah curhat kepadanya. Pembawaan Ustadzah Zidna yang santai membuatku nyaman membicarakan topik apapun kepadanya. Sebagai anak perempuan Buya satu—satunya, kutemukan sosok saudara perempuan di diri Ustadzah Zidna.

"Ustadz Avicenna itu nyebelin banget loh Mbak Zid? Kok bisa ngefens sama dia sih? Apa baiknya coba?" Aku yang masih berusia 14 tahun berkata dengan nada sengit, ketus. Dulu, aku sering sekali mengadukan perlakuan Gus Sena kepada Ustadzah Zidna.

Ustadzah Zidna hanya tertawa tipis.

"Harusnya Mbak Zid mengidolakan Cak Sinul aja. Dia mah orangnya baik, menyenangkan, seru, bukan pengadu juga!" celutukku lagi.

"Hus, nggak baik bilang gitu Ning Rum!" Ustadzah Zidna yang berusia 3 tahun lebih tua dariku menepuk lembut pundakku.

"Keduanya sama-sama baik Ning Rum, Ustadz Avicenna baik dan Cak Sinul juga baik."

"Kok ngefens-nya sama Ustadz Avicenna doang?" sergahku lagi.

Ustadzah Zidna tertawa lagi.

"Kita tidak bisa mengatur perasaan agar bisa jatuh hati kepada siapa Ning Rum, ini naluriah."

"Heleh-heleh! Jujur aja Mbak Zid! Pasti karena Ustadz Avicenna lebih good looking dari Cak Sinul yah? Hayoloh ngaku!"

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now