Cluster 11

2K 139 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim,

***

Malam itu, di Lapangan Sekarsari memang tengah ramai dipadati pengunjung. Tiap setahun sekali, tepatnya pada tanggal 18 Agustus, pertunjukan ludruk maupun wayang kulit rutin di gelar di sana, selain itu, di Lapangan Sekarsari juga sedang berlangsung event pasar malam selama seminggu. Sehingga tingkat keramaiannya meningkat tajam. Konon, sesepuh desa sana merupakan seorang dalang sekaligus wali yang andil menyiarkan agama di desa melalui kesenian seperti ludruk dan wayang kulit. Mayoritas masyarakat desa adalah pecinta kesenian, sehingga ketika ajaran agama datang dan disampaikan melalui seni, masyarakat banyak menerima dengan hati ikhlas dan lapang dada. Desa Sekarsari merupakan tetangga desa Sukosari, tempat pesantren Darur Rohmah berada. Jarak yang ditempuh dari pesantren ke lapangan pun cukup jauh, kurang lebih 4 kilo meter, ketika hendak menuju ke desa Sekarsari, orang-orang akan melintasi perkebunan pohon jati yang sepi dari pemukiman warga, lantas, bagaimana cara Ning Rum dan Shofia bisa sampai kesana?

Waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai dari pesantren ke lapangan kurang lebih sekitar 13 menit jika dengan kecepatan tinggi. Cak Sinul yang mengendarai motor telah sampai 2 menit sebelumnya.

"Bagaimana Cak?" tanya Mbak Erni setelah turun dari tosa.

"Lihatlah, lapangan begitu ramai dipadati manusia, akan sangat sulit menemukan keberadaan Ning Rum dan Shofia."

"Bagaimana jika berpencar saja," Mbak Ninid mengusulkan.

"Cak Sinul ke arah barat, Ustadz Avicenna arah selatan, Mbak Erni arah timur dan Ninid sendiri kearah utara." ujar Mbak Ninid lagi. Semuanya mengangguk setuju.

"Titik kumpulnya lagi di bawah biangalala saja, biar gamopang nyarinya. Tapi sepertinya Ning Rum tengah berdesakan di dekat panggung ludruk nggak sih?"

"Sepertinya memang iya Cak Sin,"

"Ya sudah, kita langsung pencar sekarang, 30 menit lagi kita kumpul ya," kata Cak Sinul lagi.

"Oh iya Mbak, untuk memudahkan pencarian, kalau boleh tau warna pakaian Ning Rum apa ya?" tanyaku. Mbak Erni dan Mbak Ninid tampak berbisik.

"Kalau nggak salah, Ning Rum sore tadi mengenakan baju warna biru yang senada dengan jilbab bergonya, Ustadz!"

Aku mengangguk paham. Sore tadi, aku juga sempat melihat Ning Rum Seliweran di lorong Ndalem dengan mengenakan pakaian sebagaimana disebutkan Mbak Erni.

***

Pengunjung pasar malam sekaligus menikmat ludruk memang tengah membludak pesat, menyulitkan pencarian. Untung saja, pakaian yang Ning Rum pakai berwarna cukup nyentrik, sehingga sedikit memudahkan daripada pangunjung lain yang mayoritas menggunakan outfit merah-putih sebab hari ini masih diwarnai nuansa hari kemerdekaan.

Kurang lebih 15 menit setelah masa pencarian, retinaku fokus pada seorang gadis remaja yang tengah duduk di antara ibu-ibu desa.

Aku sedikit mendekat, memastikan.

Gadis remaja itu menoleh, dan benar! Dia adalah Ning Rum.

Sebagaimana aku yang terkejut, Ning Rum pun demikian. Wajahnya tampak gusar, seperti tengah terciduk satpol pp saja.

"Ning Rum, ayo pulang!" ajakku, Ning Rum buang muka. Kembali fokus kearah panggung pertunjukan.

"Mas, Mas! Ini adeknya ya? Kok dari tadi dibiarkan sendirian Mas? Tadi di depan tenda sana digodain remaja-remaja PBD loh (Pengangguran Beban Desa), makanya saya ajak bareng." Seorang ibu-ibu paruh baya berujar kepadaku, ujaran setengah protes.

"Nggeh Bu, terimakasih sudah ditemeni."

"Ning Rum, ayo pulang." Aku mendekat lagi, namun masih dengan batas jarak kurang lebih 2 meter dari tempatnya duduk.

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now