Cluster 5

3K 186 2
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,

Yuhuuu, suka cerita Ning Rum? Yuklah di share ke  temen-temen kamu hihi

***

Tok tok tok

Aku dan Gus Sena menoleh kearah pintu, sejurus kemudian, Ummah dan Mbak Alya memasuki kamar pengantin.

"Rum, temui dulu Kiai Ghani beserta keluarga." Ummah yang berbicara.

Aku tak menjawab.

Gus Sena berdiri dari duduknya, "Ummah, saya ijin keluar dulu menemui mereka,"

"Tunggu, Nak! Ajak Rum sekalian!" Ummah mendekatiku, memegang pergelangan tanganku, lalu memaksaku berdiri dari dudukku yang kaku.

"Ucapkan salam dengan keluarga Kiai Ghani Rum! Mau bagaimanapun, sekarang kamu adalah menantunya." bisik Ummah ditelingaku. Aku manut, tentu saja dengan terpaksa.

Gus Sena menuntun tanganku atas arahan Ummah dan Mbak Alya menuju ruang tamu utama. Disana, keluarga besar keluarga Kiai Ghani ternyata telah menunggu kemunculan kami berdua.

"MasyaAllah Bah, ini dia menantu bungsu kita, jan ayu tenan!" seru perempuan paruh baya yang mengenakan Jubah maroon. Beliau adalah Bunyai Lutifah, istri Kiai Abdullah Ghani, Ibu Gus Sena. Meski usia sudah senja, semburat kecantikannya masih kentara jelas, Bunyai Lutifah masih keturunan Timur Tengah, jadi tak heran jika Gus Sena juga memiliki paras yang rupawan.

Aku menyalami tangan hangat beliau. Kemudian beliau memeluk dan menciumi pipi dan keningku. "Alhamdhulillah, ternyata kamu adalah jawaban dari doa-doa Ibuk, Rum," Aku tersenyum simpul. Hati kecilku berbisik, jika boleh jujur, rasanya ingin mengatakan bahwa aku tentu saja tidak ingin menjadi jawaban dari doanya. Astagfurullah, Rum!

"Pangestune Bunyai." celetukku. (Mohon doa restunya, Bunyai)

"Panggil Ibuk ya Nak, 'kan sekarang sudah menjadi anak Ibu juga." Aku mengangguk, lalu trsenyum simpul lagi. Senyum palsu yang dibuat-buat. Setidaknya, meskipun aku menolak keras pernikahan ini, aku masih memiliki sedikit hati nurani untuk tidak bertingkah acuh dihadapan keluarga besar Gus Sena.

Setelah Kiai Ghani memberikan wejangan tentang kehidupan berumah tangga, hikmah didalamnya serta hak-hak dan kewajiban antara suami-istri. Bunyai Lutifah mendekatiku yang sedang duduk bersisian dengan Gus Sena.

"Rum, ingin pesta pernikahan yang seperti apa, Nduk?" Bunyai Lutifah menyentuh pelan pundakku. Aku mendongak sedikit, kemudian menunduk kembali. "Kersanipun, Bu!" (Terserah saja)

"Beneran? Kalau begitu baiklah, nanti Ibuk persiapkan pas unduh mantu pesta pernikahan terbaik untukmu Rum," Aku tersenyum lagi.

"Terimakasih, Buk!"

Ditengah-tengah perbincanganku dengan Bunyai Lutifah perihal unduh mantu yang rencananya akan digelar 2 minggu mendatang, Gus Sena pamit pergi, sepertinya memenui Cak santri yang nderekki (mengikutinya)dari pesantrennya, Al- Iman.

"Rum, kalau Sena berbuat tidak baik sama kamu, laporin saja sama Ibu. Kalau tidak begitu, jewer saja kupingnya." Aku tersenyum simpul, kali ini senyum sungguhan.

"Dibalik sifatnya yang pendiam dan serius, dia penyayang kok Rum, Sena juga bisa guyon, walaupun kadang guyonannya receh." Bunyai Lutifah tertawa tipis. Membuatku tersenyum lagi.

"Dari kecil, Sena sudah tumbuh menjadi anak penurut dan tidak neko-neko, jadi kamu tenang saja ya Rum, InsyaAllah Sena tidak akan menyakitimu." Aku tersenyum simpul menanggapi perkataaan Bunyai Lutifah. Namun, bagaimanapun baiknya seseorang, jika tidak ada rasa suka maka semua kebaikannya terlihat samar dan kelabu bukan?

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang