Cluster 28

1.7K 138 9
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,


Sekali lagi, ini adalah no cut no edit gaissss, jadi mohon dimaklumi juka banyak sekali kesalahan dalam penulisannya yak! Makasih emmuachhhhhh

***

Mobil yang dikendarai Gus Sena berhenti tepat di halaman pesantren Al- Iman. Pesantren Al-Iman merupakan pesantren yang didirikan oleh Romo Kiai As'ad Khoiron, kakek dari Gus Sena. Kiai As'ad merupakan Kiai yang terkenal sangat wira'i dan zuhud. Beliau merupakan orang pertama yang babat alas desa Waringin sehingga berkembang dan makmur seperti saat ini. Sedangkan nenek Gus Sena masih ada saudara dengan pengasuh pondok pesantren besar di Tuban.

Sepulang dari panti asuhan semalam, Gus Sena banyak menceritakan tentang keluarganya, tentang al-Iman, dan juga tentang kehidupan masa kecilnya, tak terlupakan juga tentang mendiang kakak perempuannya yang meninggal dunia ketika berusia 10 tahun.

"Penyebabnya apa ya Gus?" tanyaku penasaran. Kala itu aku mendengarkan Gus Sena bercerita seraya memilah dan memilih barang-barangku yang akan kubawa ke Kediri. Kepergianku kesana memang hanya satu minggu, namun, bukan Arumi namanya jika tidak membawa pakaian banyak.

"Almarhumah kakak perempuanku mengidap leukimia sejak balita, Ning."

"Innalillahi, kasihan sekali."

"Jodoh, ajal, dan rejeki memang tidak ada yang tau. Manusia juga tidak bisa memprediksi siapa duluu yang akan datang menemuinya. Entah jodoh atau ajal."

"Duh Gus jangan bilang gitu dong! Rum jadi merinding nih!"

"Tapi kita harus bersyukur loh Ning."

"Bersyukur tentang?"

"Tentang kita."

"Tentang kita gimana maksudnya?"

"Maksudnya, saya bersyukur karena Ning Rum datang terlebih dahulu daripada malaikat Izrail."

"Memangnya kalau malaikat Izrail dulu yang menemui Gus Sena kenapa?"

Gus Sena menghela napas panjang. "Ya pastinya sekarang saya sudah menjadi Almarhum, Ning!"

"Oh ya? Wkwkw. Eh iya Gus, di Kediri tuh kehidupannnya bagaimana? Hampir sama dengan disini tidak?"

"Hampir sama kok Ning."

"Santri putranya jenengan ganteng-genteng tidak?" godaku. Gus Sena menggeleng gedek.

"Ya ganteng-ganteng to Ning, tapi tetep saja yang paling ganteng adalah Gus mereka." Mendengar Gus Sena berkata dengan begitu percaya dirinya membuatku tanpa sadar melempar bantal leher yang tergeletak tak jauh dari keberadaanku.

"Tolong ya, tolong banget! Tingkat kepedeannya kurangi lagi beberapa level."

Gus Sena tertawa sumbang.

"Ning, Ning, monggo turun. Kita sudah sampai." Panggilan Gus Sena membuyarkan lamunanku.

Aku tersentak. Bola mataku menatap ke sekeliling. Takjub dengan bangunan Pondok Pesantren al- Iman tampak sangat luas dan besar. Konsepnya masih memegang teguh pada ciri khas pesantren salaf namun dipadu dengan bentuk-bentuk modern, sehingga tampak fresh dan menarik.

Di halaman pesantren tampak banyak orang tengah wira-wiri mempersiapkan tenda untuk resepsi yang akan digelar besok pagi. Ada yang tengah merangkai bunga, mendirikan kwade, dan memangkas pohon mangga.

Aku mengikuti langkah Gus Sena. Disana, tampak Bunyai Lutifah dan beberapa orang entah siapa berdiri menyambutku di depan ndalem.

"Assalamu'alaikum, Bu." Aku kembali mengikuti Gus Sena mencium tangan kanan Ibu.

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now