Cluster 48

1.4K 103 5
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,


***

Aku memekik kaget mendapati ban sepeda motorku bocor. Hari ini ada presentasi tepat setengah jam lagi. Makalah, dan beberapa bahan ada bersamaku. Jika telat, mungkin teman-teman sekelompok akan menghakimiku.

Aku segera memutar otak, berpikir keras.

Tiba-tiba kudengar derup langkah Gus Sena baru turun dari Masjid pesantren putra. Aku tertawa tipis. Hubunganku dengan Gus Sena memang kurang harmonis sejak semalam, tanpa kutahu sebab asal muasalnya. Dengan ketekatan penuh, aku berani mendekat.

Saat-saat mendesak seperti kali ini, rasa gengsi bagiku tak berharga lagi.

"Gus Senaaa," Aku berusaha menyapanya dengan suara selembut mungkin.

Gus Sena menghentikan langkahnya, menoleh kearahku dengan heran. "Nggeh Ning? Mau pamit ya?" suaranya tampak dingin dan tak bernada.

Aku lebih mendekatkan diri kepadanya. "Bisa bantu tidak? Ban Rum kempes, Gus. Dan Rum ada kuliah pagi ini."

Gus Sena berjalan menuju sepeda motorku, kemudian memperhatikan ban bagian depannya.

"Ini bocor Ning, bukan kempes." Aku pasang wajah terkejut mendengar perkataanya. Sebenarnya aku telah paham bahwa ban motorku tengah bocor, bukan kempes.

"Terus Rum bagaimana?"

"Saya antar bagaimana?"

Aku tertawa dalam hati. Itu yang kumaksudkan sejak tadi.

"Tapi kalau naik mobil macet, Gus." Sergahku. Bukannya mengarang atau apa, kondisi mobil yang lebih macet dan lama adalah fakta jalanan.

"Naik tossa pondok saja?"

Aku menggeleng kuat. "Bisa-bisa Rum dikira pengantar galon isi ulang nanti."

Aku melirik kearah parkiran pondok, kemudian menunjuk kearah sepeda motor yang biasanya digunakan pengurus untuk kebutuhan pesantren.

"Kalau Ning Rum mau, baiklah. Saya ambilkan kuncinya."

"Tidak ada pilihan lain yang lebih baik lagi Gus, jadi Rum mau-mau saja."

Gus Sena yang sedari tadi pasang raut muka serius langsung tersenyum. Namun kali ini kadar senyumnya begitu tipis dan singkat, mungkin sedang berada di mode energi yang di hemat.

"Baiklah, tunggu saya 3 menit lagi Ning." Gus Sena bergegas menuju kamar pengurus, tempat kunci motor tersimpan.

2 menit kemudian, Gus Sena telah kembali dengan membawa motor matic dari parkiran pesantren.

"Ning, saya tunggu di depan gerbang nggeh?"

"Loh kenapa Gus?" tanyaku heran.

"Jika dari dalam sini, saya sungkan Ning, nggeh monggo." Tanpa menunggu tanggapanku, Gus Sena kembali menuntun sepeda motor tanpa menaikinya. 

Membuatku kesal sekaligus takjub. 

***

Seusai habisnya mata kuliah pertama, aku tak langsung beranjak dari dudukku yang berada di muka kelas setelah presentasi yang kulakukan bersama kelompokku baru saja.

Pikiranku kembali mengingat kejadian tadi pagi. Kejadian ketika aku dan Gus Sena menuju kampus dengan motor matic pesantren.

"Gus, bisa dicepetkan lagi ga lajunya? Rum udah hampir telat nih." Rengekku di tengah perjalanan.

"Bisa saja, Cuma Ning Rum harus pegangan. Biar tidak bahaya." Jawab Gus Sena setengah teriak. Sebab khawatir suaranya tak tertdengar karena melawan angin.

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now