Cluster 29

1.8K 136 4
                                    

Bismillahirramaanirrahim,,


NO CUT NO EDIT gais, maaf banget jika banyak terdapat banyak kesalahan dalam penulisan wkwk 

***

Avicenna Ghani Muhammad

Semenjak menjadi suami Ning Rum selama beberapa hari, banyak hal ajaib yang baru ku ketahui tentangnya. Awalnya, Ning Rum memang bersikap dingin dan acuh. Namun, siapa sangka jika kecuekan Ning Rum di hari pertama pernikahan kami berubah di esok harinya, secepat itu.

"Rum langsung berangkat ke kampus, maaf ga pamit." Tulis Ning Rum di sebuah kertas notes yang ia tempelkan di kaca rias. Aku tersenyum geli saat itu. Fakta jika Ning Rum berkepribadian random memang benar sekali, dalam hitungan detik, Ning Rum mudah sekali berubah sifat dan sikap.

Aku melirik tajam sekeliling kamar Ning Rum, dindingnya berwarna kuning gading. Di sudut kiri kamar terdapat foto pertumbuhannya dari masa ke masa. Mulai Ning Rum kecil sampai dewasa. Aku mendekat ke salah satu foto Ning Rum ketika ia masih kanak-kanak, dengan memakai busana muslim berwarna putih, Ning Rum memegang piala penghargaan dengan penuh kebanggaan. Aku ingat betul, foto itu diambil ketika Ning Rum berusia sekitaran 10 tahun, ketika beliau berhasil memenangkan lomba penulisan cerpen anak-anak antar Sekolah Dasar se-Provinsi.

Senyumku mengembang melihat foto balita Ning Rum. Dengan pipinya yang gembul serta rambutnya yang tebal, Ning Rum tengah menaiki sebuah kuda-kudaan di arena permainan anak-anak. Raut wajahnya hampir menangis, entah mempermasalahkan apa. Kemudian bola mataku kembali beralih kepada foto Ning Rum yang lainnya, foto yang diambil ketika Ning Rum tengah wisuda di jenjang SMA, dengan mengenakan setelan kebaya yang dilengkapi dengan hijab pashmina sedemikian rupa, membuat Ning Rum tampak lebih anggun dari biasanya. Senyumnya mengembang, geliginya berbaris rapi, lesung pipinya tercetak sempurna, membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona.

Dibalik sebuah foto-foto tumbuh kembang Ning Rum hingga dewasa, tiba-tiba aku teringat dengan cerita Buya dan Ummah semalam, cerita tentang Ning Rum pernah mengalami masa kritis diujung tanduk antara hidup dan mati, ketika ia masih bayi.

Ternyata, Ning Rum telah terlatih menjadi kuat sedari dini. Maka tak heran jika ia tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah bergantung dengan orang lain.

Dan yang terakhir, kedua bola mataku fokus kepada foto-foto paroid ynag Ning Rum gantung di sudut kamar yang lain. Disana mengisahkan tentang cerita perjalanan kuliahnya mulai dari mahasiswa baru. Dengan berbagai event dan latar belakang tempat seperti ketika rapat bersama anggota organisasinya, ketika mengikuti seminar, car free day, di puncak, di pantai, ketika bakti sosial, di perkuliahan, di balai kota ketika demo, dan masih banyak lagi berbagai aktivitas yang lain. Kebanyakannya, foto Ning Rum diambil bersama dengan seorang perempuan bermata sipit dan berambut pirang yang tinggi badannya beberapa senti lebih tinggi darinya. Namun, ada hal lain juga yang membuatkan gagal fokus, dari sekian banyak foto paroid Ning Rum, ada seorang laki-laki berparas lumayan yang selalu ada di beberapa moment kegiatannya.

Siapa dia?

Mengapa senyumnya tampak beda?

Sebagai sesama laki-laki, aku dapat membaca signal tak biasa yang terpancar disetiap sorot matanya. Meskipun hanya gambar saja, semua tampak begitu kentara.

***

"Tadi Ustadzah Zidna membuatkan cokelat panas." Ujar Ning Rum sembari menunjuk sebuah cangkir yang bertengger di meja kamar menggunakan isyarat lirikan mata, Aku yang saat itu sedang menyampirkan sorbannya menoleh.

"Nggeh Ning, terima kasih."

"Loh, bilang terimakasihnya kepada Ustadzah Zidna, bukan Rum yang buat." Ning Rum tak beralih dari fokusnya membaca sebuah buku yang kulirik berjudul "Berdamai dengan takdir_ Seni meredam setres, merawat batin, dan memahami kehidupan agar lebih bahagia." buku karangan Sony Adams.

Terpikat Pesona Ning RumWhere stories live. Discover now