Cluster 41

1.5K 110 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim,,


***

Sebagai anak yang tidak pernah betah mondok lama di pesantren manapun, ini adalah kali pertamanya aku meninggalkan rumah dalam jangka waktu paling lama dalam sejarah selain masuk rumah sakit ketika masih bayi. Aku memang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru, namun untuk menginap dan menetap aku tidak bisa sebenarnya.

Menginjak hari ke 5, sebelum besok kembali pulang ke Malang, Gus Sena mengajakku kelililing desa. Melihat persawahan, coban yang katanya indah, lapangan anak-anak yang senang main bola, dan kebun aneka ragam buah-buahan yang cukup terkenal juga.

Dengan mengenakan outfit sederhana berupa rok dan cardigan berhanan dasar rajut pemberian Sarah, aku berusaha mengejar langkah Gus Sena yang teramat cepat.

"Ya Allah Gus, tunggu." Gus Sena menghentikan langkahnya.

"Saya yang terlalu cepat atau Ning Rum yang terlalu lambat?"

"Ya jelas Gus Sena yang terlalu cepat lah. Mana jalannya juga sedikit naik, berat tau!"

"Mau digendong?"

Aku mendelik. "Ngawur!"

Aku berlalri mendahului Gus Sena.

"Ning, jenengan tidak tau arahnya, nanti nyasar."

"Biarin!"

Gus Sena menggeleng tak heran.

Kami berdua bberhenti tepat di pinggir lapangan. Disana, banyak anak kecil berusia kisaran 8 sampai 12 tahun tengah sibuk mengoper bola.

"Jadi anak kecil enak banget tau. Jadi pengen kecil lagi." Ujarku. Bola mataku menelisik satu-persatu wajah mereka yang tampak serius namun tanpa beban. Beban terberat hidup mereka mungkin hanya pr dan tidur siang saja.

"Kenapa begitu Ning?" tanya Gus Sena.

"Full main Gus, enak banget tau. Memangnya Gus Sena tidak pernah main-main waktu kecil?" aku balik bertanya.

Gus Sena tersenyum, seperti teringat sesuatu.

"Saya di pondokkan ketika berusia 10 tahun Ning."

"Hah? Demi apa?"

"Dari kecil, aku telah d i gembleng belajar ini-itu. Rasanya, tidak pernah main-main sebagaimana anak yang lain. Main di lapangan ini saja tidak pernah. Kecuali satu kali mampir saat pulang sekolah. Itu pun hanya sebagai penonton saja."

"Ish, ish, kasihan sekali. MASA KECIL KURANG BAHAGIA ya Bund! Tapi main bola bisa nggak?"

"Ya Bisa Ning, di sekolah ada pelajaran olahraga bukan? Ya saya belajarnya dari sana. Meskipun tidak sejago Ning Rum, saya masih bisa loh Ning."

"Memangnya Gus Sena tau kalau waktu kecil Rum sering ikutan main bola?"

"Ya tau Ning, jenengan sukka pakai jersey Mas Salman bukan? Sepulang sekolah, Ning Rum akan segera terjun keluar pondok lagi untuk bermain bola dengan anak-anak desa di lapangan. Yang kemudian, Mbak-mbak santri kebingungan mencari Ning Rum mereka."

Aku tertawa geli, waktu kecil aku memang sering sekali kabur dan main bola di lapangan. Meskipun aku tak sekeren Ronaldowati, namun tendanganku cukup mematikan juga.

"Suatu hari, Ning Rum pernah ijin pergi maiin bola, tapi ujung-ujungnya malah main di sungai. Saat Mbak Erni menarik tangan Ning Rum, Ning Rum malah melepas genggaman tangannya hingga Mbak Erni ikutan terjun ke air juga. Ning Rum ingat itu tidak?"

Tawaku semakin menjadi-jadi. Ternyata aku pernah menjadi jail dan sembrono juga."

"Basket? Bola Volly? Tenis? Badminton? Bisa juga nggak Gus?" Aku berusaha mengalihkan topik. Jika tetap berlanjut, aku khawatir Gus Sena akan mengulik masa kecilku yang lebih memalukan lagi.

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang