💫28

76.7K 10.1K 1.1K
                                    

Hari ke-3 Binar berasa di Jakarta. Dan hari ini pula ia bangun dengan kondisi sama.

Mulanya Binar mencoba biasa saja, namun tidak bisa setelah melihat adanya bercak merah dibagian paha dalamnya. Bukan hanya itu, bercak yang sama juga terlihat pada bahunya. Dengan bagian inti yang sedikit nyeri.

Bermacam spekulasi mulai muncul di kepalanya, apa ada orang yang diam-diam masuk ke rumahnya? Tapi Binar sudah yakin bahwa pintu dan semua jendela telah dikunci.

Dan kenapa Binar bisa tak merasakan apa-apa?

"Keknya gue udah gak aman. Gak mau tau besok gue harus pulang." monolognya mencoba tenang meski kenyataan tubuhnya masih bergetar.

Memijit pangkal hidungnya, Binar mencoba santai. Tetapi tidak bisa, malah semakin gelisah rasanya.

"Gue telpon Dara aja kali, ya?" gumamnya setelah sepintas muncul ide tersebut. "Maaf, Dar. Gue ngerepotin lo lagi."

Binar menghubungi Dara, meski percobaan pertama tidak diangkat Binar tidak menyerah. Sampai percobaan ke-3 Dara baru mengangkatnya.

"Ada apa nih. Tumben-tumbenan nelpon gue terus." sapaan pertama Dara disebrang sana terdengar. Binar menggigit bibirnya, ragu-ragu ia berbicara.

"Dar, lo di mana sekarang?"

"Kost nih. Kenapa?"

Binar tersenyum lebar, memang rezeki anak soleh itu tidak pernah tertukar.

"Sabilah gue nginap malam ini. Gue bosen sendirian di rumah."

"Boleh boleh. Eh, atau gue aja yang nginap di rumah lo?" usulan Dara membuat Binar berpikir sejenak. Bagus juga. Jadinya Binar ada teman malam ini.

"Oke deh. Kalo boleh kita hunting malam ini. Kebetulan kan bentar malming." usulan Binar segera mendapat respon antusias dari Dara.

Setelah beberapa saat, panggilan akhirnya berakhir. Binar tersenyum puas, setidaknya malam ini ia tidak akan sendiri.

💫💫💫


"Dar, serius deh ini tuh jajanan paling enak." celotehan Binar di tengah keramaian pasar malam santer terdengar. Dara disampingnya hanya manggut-manggut.

Suapan terakhir Binar masukkan sebelum bangkit kemudian menuju stan penjual martabak. Dara yang melihatnya dibuat geleng-geleng kepala.

"Sebenarnya perutnya terbuat dari apa sih?" tanyanya heran setelah menyaksikan nafsu makan Binar yang diluar nalar menurutnya.

Di sisi lain, Binar dengan sabar menunggu antrean yang begitu panjang. Dalam benaknya sudah membayangkan bagaimana lumernya coklat bercampur keju itu kedalam mulutnya.

Aah, Binar nyaris saja menjatuhkan air liurnya. Untung ia gesit menghapusnya.

"Hai mantan."

Semula Binar tak menanggapi panggilan itu, tapi setelah bahunya dirangkul dari samping, mau tak mau Binar mengelak. Kedua netranya memicing setelahnya melotot siapa yang sudah berani merangkulnya.

"Zean." Binar segera mengambil langkah jauh. Demi pasar malam dan martabak manis, sumpah Binar tidak ingin melihat tampang pria tengil pria itu.

"Berasa gak sih, kita ini sepertinya udah jodoh. Ketemu gak sengaja terus saling bernostalgia bersama kenangan."

Nostalgia pantatmu!

Ge'er sekali si Zean ini. Bagian mananya Binar mau nostalgia. Membayangkan tai kukunya saja Binar ogah.

Mendumel dalam hati, Binar bergerak ke depan saat tiba gilirannya. Berusaha tak mempedulikan makhluk astral disampingnya, Binar menyebutkan pesanannya.

"Coklat keju satu porsi, Mas."

Binar Rembulan~Transmigrasi (OPEN PO)Where stories live. Discover now