💫50

42.3K 6.5K 689
                                    

Menghela napas panjang, Hera keluar kamar kala suntuk mulai menyerangnya. Setiap lorong yang kakinya lewati, maka kenangan itu juga bakal muncul.

Seakan sudah diatur sedemikian rupa, maka otomatis kenangan yang pernah terjadi di lorong maupun setiap sudut rumah ini bakal terputar.

"Aku menginginkan jantung Ernest."

"Erzana, kamu gila. Setelah semua yang Ernest lakukan, kamu malah ingin egois."

Hera menghentikan langkahnya. Matanya terpejam, sekuat apapun melupakannya, tetap saja Hera tak bisa menghentikannya.

Tanpa bisa dicegah tubuhnya menggigil.

"Aku mencintaimu, Hera. Aku hanya ingin menjadi sosok sempurna di sisimu. Apa salah?"

"Kamu tidak salah. Tapi caramu yang salah. Berhenti melakukan hal yang bisa merugikan, Erzana. Ku mohon, kamu sudah sempurna di mataku."

Lihat. Bahkan setelah sekian lama berlalu, Hera masih merasakan sesak itu kian membumbung tinggi. Tak berkurang sedikitpun dan malah kian bertambah.

"Hera, kamu benar. Tidak seharusnya aku egois seperti ini."

Tanpa sadar Hera tersenyum masam, mengilas kembali bagaimana Erzana sudah lama menyimpan rasa kepadanya. Meski perasaannya terhalang oleh perasaan Hera kepada Ernest. Namun tak sedikitpun niat Hera menjadi penengah diantara hubungan Binar dan Ernest. Terlebih setelah Binar pergi dan keadaan Ernest semakin memburuk.

"Bunuh aku Hera! Hanya ini satu-satunya cara agar kamu dan anak kita selamat!"

"Kamu gila, hah! Masih ada cara lain!"

"Tidak Hera. Tidak ada cara lain lagi. Ayo ambil pisau ini. Bila tak segera dilakukan, orang tuaku akan berbalik mengincarmu."

Hera menggeleng seiras airmata yang kian mengalir deras. Sampai kapanpun Hera tak akan menghabisi suaminya.

Erzana yang melihat itu hanya menunduk, kemudian tanpa diduga, Erzana menancapkan sendiri pisau itu tepat di dadanya. Hera membelalakan matanya tak percaya.

Dengan susah payah, Hera mendekati Erzana. Kondisinya yang lemah paska dinyatakan hamil membuat pergerakannya terbatas.

"Erzana." Hera menggeleng tak percaya dan menatap takut pada darah yang kian mengucur deras. Disisa kesadarannya, Erzana menatap Hera. Tampak sekali kacau. Lalu di saat Hera ingin mencabut pisau itu, tanpa diduga Erzana menahan tangannya dan malah menekan tangan Hera hingga pisau itu kian menancap dalam.

"Erza...."

"Jaga anak kita. Mau apapun jenis kelaminnya, berilah nama Zana." bisikan lirih Erzana bersamaan pintu rumah terbuka menampilkan sosok Erika dan Dario.

"Bagus. Akhirnya parasit itu mati juga."

"Nda!" Hera terperanjak dari lamunannya saat suara melengking itu mengambil atensinya. Mendapati Zana berlari, Hera segera menghampiri anaknya.

"Zana kenapa?" tanya Hera saat mendapati raut ketakutan Zana. Sesaat Hera menyadari pertanyaannya, apa yang Zana mengerti?

Baru saja menggendong Hera, sebuah suara dentuman keras terdengar. Disusul ledakan yang nyaris merubuhkan seluruh rumah, bahkan Hera harus menunduk sambil memeluk Zana yang sudah menangis.

Entah apa yang terjadi, namun terpenting dari semua itu Hera harus membuat Zana selamat.

Mendekap erat tubuh putrinya, Hera berjalan keluar tapi sepertinya itu adalah keputusan yang salah. Tepat 10 meter di depan sana, sejumlah orang-orang berbadan kekar mengelilingi rumahnya.

Binar Rembulan~Transmigrasi (OPEN PO)Where stories live. Discover now