💫35

77.2K 10.5K 1.4K
                                    

Ternyata apa yang dikatakan Ernest kemarin terbukti benar.

Terduduk menatap pantulan dirinya dalam cermin, Binar tak bisa berbuat banyak. Satu sisi Binar tidak terima, namun di sisi lainnya tubuhnya sudah terjamah jauh. Bagian privasinya telah dilihat bahkan....

Membayangkannya, Binar meremat gaun putih yang sempurna melekat di tubuhnya.

"Hera," gumam Binar saat menyadari kehadiran sahabatnya itu melalui pantulan cermin. Seolah memberikan ruang bagi kedua wanita itu untuk berbicara, pelayan serta penata rias bergegas keluar.

Tinggalah mereka berdua dalam keheningan serta kecanggungan yang teramat kental.

"Maaf dan selamat." entah untuk alasan apa Hera mengucapkan kalimat itu. Yang pastinya Binar hanya diam, mungkin menunggu untuk Hera berbicara.

Tetapi sekian menunggu, Hera tak kunjung membuka suara.

"Lo keliatan gak keberatan sama pernikahan ini." singgungnya dengan posisi yang tidak berubah sedari awal. Binar tetap menatap Hera melalui cermin.

"Buat apa? Gue nggak ada hak." Hera menimpali kembali meringis kecil saat bayi dalam perutnya menendang. Binar melihatnya, tetapi mulutnya memilih bungkam.

"Gak ada hak? Lo gak lupa siapa Ernest?"

"Gak lupa. Dia tetap adik dari mendiang suamiku."

Melalui cermin, Hera dapat melihat air muka Binar terkejut. Apa? Kenapa Binar terkejut mendengarnya? Atau Ernest belum memberitahu Binar siapa suaminya?

"Maksud lo, Erzana itu suami lo?" tanya Binar memastikan. Dan anggukan Hera menjawab pertanyaan barusan.

Binar meraup mukanya, jadi selama ini dia telah salah paham. Tetapi tak lama tubuhnya menegak. Menyadari ada yang aneh dari kalimat Hera.

Mendiang?

"Suami lo udah, meninggal?" mengamati raut Hera didalam cermin, Binar dapat menangkap adanya ekspresi kesedihan di sana. Namun dengan cepat Hera menutupnya dengan senyum tipis.

"5 bulan lalu. Gue kira Ernest udah cerita," jawabnya seraya berjalan mendekati Binar yang sekarang malah termenung. "Maaf, selain lo gue juga gak tau perihal rencana Ernest. Gue hanya sebatas tau bahwa Ernest suka lo dari dulu. Selebihnya gue gak tau apa-apa."

"Suka gue?" Binar membeo seraya menunjuk dirinya sendiri. Bukannya sedari dulu Ernest menyukai sang pemeran utama? Mengapa jadi dirinya.

Hera tersenyum kalem.

"Lo gak tau aja, semasa sekolah Ernest tuh sering banget nyuruh gue kirimin foto lu. Awalnya gak mau, tapi karena diancem, ya gak ada pilihan lain." tutur Hera bersamaan pula pintu diketuk disusul kemudian dibuka.

"Mempelai boleh turun."

Binar menghela napas panjang. Padahal Binar masih ingin mendengar cerita dari Hera. Menatap pantulannya dalam cermin, Binar seolah masih tak menyangka. Dirinya sebentar lagi bakal menjadi seorang istri. Tanpa diundang, ketakutan menghampirinya.

Menyadari kegelisahan Binar, Hera mengelus pundaknya. "Selama mengenal Ernest, dia tipikal yang apabila sudah menyukai sesuatu, maka Ernest akan mendapatkannya," Hera menjeda sejenak kalimatnya saat mendapati mata Binar berkaca-kaca.

Binar tau, watak Ernest sudah tertulis jelas dalam cerita.

"Lo udah merubah sesuatu yang besar akibat kepergian lo 4 tahun lalu. Apa yang lo liat hari ini, tidak sebanding dengan apa yang sudah terjadi 4 tahun lalu. Gue harap, lo mampu melewatinya. Jangan nyerah." itulah kata terakhir Hera sebelum menuntun Binar berdiri.

Binar Rembulan~Transmigrasi (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang