💫32

76.4K 9.5K 828
                                    

Masih pada nungguin gak nih?

Sebelum baca, harap follow akun Arrinda.

Serta jangan Lup untuk timggalkan komen ditiap paragraf.

Happy reading!

💫💫💫

Terbangun karena bias matahari menimpa wajahnya, Binar bangkit. Netranya memindai ruangan tempatnya sekarang ini.

Kemudian satu sosok muncul di kepalanya. Binar berdiri bersamaan pintu dibuka dari luar. Mendapati Zean yang berdiri sambil membawa nampan berisi makanan, Binar menyahut.

"Ini di mana?"

"Rumah gue." jawab Zean berjalan mendekati Binar lalu duduk di sisi kasur. Tangannya menepuk sisi kasur kosong lainnya memberi kode agar Binar duduk.

Meski ragu-ragu, Binar duduk di samping Zean.

"Makan dulu. Gue tau lo masih lemas." katanya seraya tangannya sibuk mengambil nasi beserta lauknya pada sendok. Bermaksud menyuap Binar, Zean malah mendapati raut kikuk gadis itu.

"Gue baru bangun disuruh makan. Gue aja belum gosok gigi sama cuci muka." terangnya menunjuk wajahnya sendiri.

Zean terkekeh singkat. "Gak masalah. Lo tetap cantik."

Ungkapan itu membuat Binar tanpa sadar menjauhkan tubuhnya sedikit. Selain Ernest, Zean juga patut diwaspadai. Tidak ada yang tau isi pikiran sang mantan pertama, Zean terlalu abu-abu untuk Binar yang tidak bisa menduga.

Memutuskan mengambil alih tugas Zean, Binar makan dalam diam. Entah dianya yang lapar atau rakus, tak membutuhkan waktu lama makanan tadi tandas tak bersisa.

"Kinclong bener piringnya. Kalo gini, gue gak perlu repot cuci." guraunya menatap Binar yang sedang minum.

Melalui sudut matanya, Binar dapat melihat Zean tengah menatapnya lamat. Risih. Tentu saja. Binar tidak bisa berlama-lama berada disatu ruangan bersama sang mantan.

Menaruh gelas itu bersama piring kotor, Binar celingukan ke sana kemari. "Liat hape gue, nggak?" tanyanya setelah menyadari keberadaan ponselnya yang tak Binar lihat.

"Gak tuh. Semalam lo gak bawa hape." Zean menjawab tanpa Binar tau lelaki itu baru saja berbohong padanya.

"Masa sih? Gue yakin banget, tuh hape masih gue pegang sampai masuk mobil lo. Oh mungkin jatuh di sana kali, ya?" tuturnya ingin berdiri, tetapi Zean sigap menahan pergelangannya.

"Gak ada. Gue baru cuci mobil dan gak liat apa-apa. Mungkin hape lo jatuh, tapi lo-nya aja yang gak sadar." dustanya.

Binar termangu, bila begitu bagaimana Binar bisa menghubungi Reksa. Padahal hanya benda itu yang Binar butuhkan. Menghela napas pasrah, Binar menatap Zean. Entah lelaki itu tulus atau tidak, Binar akan tetap mengucapkan terimakasih.

"Thank's, ya. Tapi sorry, gue gak bisa lama-lama. Gue ada urusan yang urgent banget. Sekali lagi makasih." ujar Binar berdiri kemudian dengan langkah panjang keluar dari kamar.

Mencoba membuka pintu, kening Binar mengkerut halus saat mendapti pintu kamar ini tidak bisa dibuka.

"Zean, pintunya terkunci." lapor Binar disela usahanya membuka pintu tersebut. Tak lama tubuhnya tersentak kala ada sebuah lengan kekar menggenggam tangannya yang memegang knop pintu.

Belum reda rasa terkejutnya, Binar dibuat tahan napas saat Zean menyeru disela lehernya. Hembusan napas pria itu terasa menggelitik kulitnya.

"Mungkin ada yang kunci kita dari luar." tukasnya sambil mengendus leher Binar membuat sang empunya berkelit dan menjauh dari Zean. Pintunya dikunci dari luar, tapi Binar yakin bahwa itu adalah alibi Zean.

Binar Rembulan~Transmigrasi (OPEN PO)Where stories live. Discover now