Dokter Sasti

58.6K 5.6K 83
                                    

            "Kamu nggak ada rencana buat nikah, Pras? Kamu sudah dua puluh tujuh tahun, loh."

            Perkataan Papa seketika membuat hening meja makan. Mama dan Valindra kompak menatap Pras yang terdiam. Laki-laki itu kelihatan terkejut tapi pura-pura santai. Setelah meneguk minumnya, Pras menatap Papa dengan senyum tipis. "Rencana pasti ada, Pa. Tapi selalu gagal," ujarnya. Dalam hati tertawa miris. Mentertawakan dirinya sendiri.

            "Kamu belum bisa move on dari Vera?" tanya Papa lugas.

            Pras menarik napas panjang. Rasanya masih saja sesak setiap kali mendengar nama itu. "Pras malah udah lupa sama dia."

            "Ada teman dekat lain?"

            Pras menggeleng. "Siapa juga yang mau dekat sama lelaki cacat kayak Pras, Pa?" sahutnya tersenyum getir.

            Valindra yang duduk di samping Pras menyahut cepat. "Jangan gitu, Kak. Kakak itu bukan lelaki cacat—"

            "Cuma  lumpuh dan nggak bisa jalan," potong Pras kilat. Senyumnya masih tipis dan getir.

            Valindra memukul lengan Pras cukup kencang. "Kak, jangan pesimis gitu dong! Kakak tuh nggak cacat, lumpuh juga nggak permanen. Inget kan yang dokter Hans bilang waktu itu? Kakak masih bisa jalan asal sering latihan dan ikut terapi. Dan satu lagi, kakak tuh ganteng, pasti banyak cewek yang mau nempel sama kakak!" cecar Valindra gemas.

            Kenapa sih kakak nya jadi kepala batu begitu?

            "Valindra benar, Pras. Kamu jangan pesimis gitu. Jodoh itu sudah ada yang ngatur," sambung Mama dengan suara tenang.

            Pras mendesah panjang. Ditatapnya sang Papa dengan ekspresi lelah. "Papa beneran udah pengin nimang cucu?"

            Papa tersenyum kecil mendengar sahutan Pras. "Bukan itu saja, Pras. Papa juga mau kamu bangkit seutuhnya. Papa mau kamu kembali kayak dulu. Masalah memang selalu ada, tapi Papa harap itu nggak bikin kamu menyerah. Dan lagi, Papa udah lumayan tua untuk terus mengurusi perusahaan. Kamu nggak kasihan sama orang tua kayak Papa?"

            Kini gantian Pras yang tersenyum kecil. "Pras ngerti, Pa. Maafin Pras udah bikin Papa sama Mama khawatir. Tapi Pras janji, Pras bakal bangkit seutuhnya. Meski keadaan Pras nggak kayak dulu lagi, tapi Pras bakal lakuin apapun semampu Pras."

            Pras menarik napas panjang dan melanjutkan. "Kalo soal perusahaan, Papa nggak perlu khawatir, Pras bisa handle. Tapi kalo untuk menikah, Pras butuh energi ekstra buat nyari perempuan yang bisa terima Pras yang nggak sempurna ini, Pa..."

            Haris terdiam sejenak, tampak berpikir, kemudian menarik napas pelan."Begini Pras, kamu ingat Om Malik yang Papa kenalin di ruanganmu dua minggu yang lalu?"

            Pras mengangguk.

            "Dia punya anak gadis yang udah cukup umur. Lulusan fakultas kedokteran di bandung. Dari lulus SMP sampai selesai S1 dua tahun lalu, dia ikut neneknya di Bandung, mengurus neneknya sekaligus kerja. Dan enam bulan yang lalu dia balik ke sini, sekarang kerja di Rumah Sakit Harapan. Kalo Papa jodohkan kamu sama dia, kamu mau? Tenang, dia cantik dan ayu. Attitudenya baik. Papa kenal baik ayahnya dan tahu bagaimana didikannya Om Malik sama kedua anaknya. Gimana, Pras?"

PRAS-SASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang