Melepas Luka

27.1K 3.5K 397
                                    

Untuk teman-teman yang selalu setia menunggu PRAS-SASTI... terima kasih banyakkkk saya sayang kaliann muaaachhh *ditoyor* :D

PRASASTI chapter 42 – Melepas Luka

Selamat menikmati dan semoga terhiburrrrrrrrrrrrrr

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Embusan angin sore menerbangkan setiap helaian rambut Pras yang mulai memanjang. Guguran daun-daun jatuh perlahan di atas pangkuannya. Pras memejamkan mata, merasakan hangat mentari senja menubruk figurnya yang terduduk lemas di atas kursi roda. Kedua tangannya terlipat lemah di atas lutut. Beberapa menit berlalu tanpa suara, seolah mengizinkan sepi menginvasi hati dan pikirannya jauh dari keramaian.

"Pras, berhenti!"

Kedua bola mata Pras sentak terbuka dan menemukan bocah laki-laki berseragam merah putih berlarian di koridor rumah sakit yang seolah tak berujung. Seorang perempuan setengah baya mengejar anak lelaki itu dengan tampang gemas. Pras tersenyum miris. Ia sempat mengira panggilan itu untuknya.

Pras menggeleng pelan, mengayuh pelan-pelan kursi rodanya dengan kedua tangan, menjelajahi petak keramik menuju taman rumah sakit yang menawarkan ketenangan, sebelum kemudian berhenti tidak jauh dari pohon besar berdaun lebat yang bergoyang serentak mengikuti embusan angin. Pras menatap pohon itu dan tersenyum sedih. Ia ingat pertemuan pertamanya dengan Sasti. Itu terjadi di selasar rumah sakit yang sekarang ia tatap penuh rindu, di hadapan pohon besar yang berdiri kokoh, serta seorang anak perempuan berpakaian pasien yang memintanya mengambilkan balon yang tersangkut di dahan pohon.

Rasanya baru kemarin semua itu terlewati, bersama tawa dan cengiran Sasti yang sehangat mentari pagi. Namun saat ini, Pras merasa sudah terlalu jauh melangkah, sampai-sampai kepergian Sasti membuatnya kembali merasakan kerasnya kursi roda, kembali merasa berada di titik awal rasa sakitnya bermula dan Pras tidak tahu caranya bertahan. Kepergian tidak pernah membuat Pras siap pada segala hal, terutama kehilangan.

"Kak Pras!"

Seruan itu membuat Pras menoleh. Valindra berjalan ke arahnya dengan wajah lelah sekaligus kesal.

"Kakak ngapain di sini? Aku nyariin dari tadi tau, sampe nyasar ke kamar mayat," sungut Valindra, sebal, wajahnya memerah. "Kalau mau ke mana-mana ngabarin, dong, biar aku nggak nyariin," tambahnya, sewot.

Pras tersenyum tipis. "Maaf, ya, Lin. Di sini adem banget, sih," jawabnya.

Valindra mendengus. Ia menyodorkan map di tangannya ke hadapan Pras. "Dari Dokter Hans. Aku nggak paham apa isinya, tapi katanya keadaan Kakak malah tambah buruk dari sebelumnya."

Pras meraih map itu, membacanya sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. Map itu berisi rekam medis keadaan tulang-tulang kakinya. Dokter Hans benar. Tanpa keterangan medis pun, Pras menyadari kelumpuhannya jauh lebih parah dari sebelumnya.

"Karena Mbak Sasti pergi, ya, keadaan Kakak jadi lebih parah?" tanya Valindra tiba-tiba sambil pelan-pelan memutar kursi roda Pras dan mendorongnya perlahan. "Sebelum ini Kakak nggak drop sampai sebegininya. Malah, jauh lebih baik. Udah bisa pakai kruk dan jalan normal sedikit-sedikit. Kenapa sekarang jadi parah gini?"

Pras tidak menjawab. Valindra benar. Keadaannya memang lebih parah dari sebelumnya dan fisioterapi yang mulai dijalaninya lagi tidak berpengaruh banyak. Pras justru lebih sering jatuh dan memperparah kondisi tubuhnya. Keadaan fisiknya seperti mengikuti kinerja hati dan pikirannya.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now