Pasien Baru

42.2K 2.9K 70
                                    

            Bau obat-obatan bercampur dengan bau cairan pembersih lantai menguar di kamar yang hanya tersinari sedikit cahaya matahari itu. Bunyi alat pendeteksi detak jantung di samping ranjang menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Embusan angin sesekali menerbangkan gorden tipis yang menutupi jendela, mengantarkan kesejukan sementara yang kemudian menguap.

Kamar bernuansa putih itu sunyi dan senyap. Penghuninya masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Beberapa selang infus berseliweran di atas tubuhnya. Hanya alat pendeteksi detak jantung di samping ranjang lah yang menjadi satu-satunya tanda bahwa tubuh itu masih bernyawa.

Derak pintu yang dibuka hati-hati memecah hening suasana, disusul derap pelan antukan sepatu. Sepasang pantofel hitam mengilat terdiam di ujung ranjang. Pemiliknya mengamati pergerakan sosok yang masih terbaring lemah di atas ranjang itu tanpa mengeluarkan suara.

Penuh kehati-hatian, sosok jangkung itu mendekat dan mengisi kursi kosong di samping ranjang. Kedua tangannya menangkup lembut jemari kurus milik kekasihnya yang bernapas pelan melalui alat bantu pernapasan. Hampir satu tahun dan keadaan belum juga berubah.

"Aku kangen kamu, Yas... ayo, buka mata kamu...."

Suara itu terucap penuh getar, diikuti satu kecupan hangat di punggung tangan kekasihnya yang tertidur cantik. Senyum getir terulas tipis dari kedua sudut bibirnya.

Hening kembali meraja. Dentang jam menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu terus berjalan. Matahari mulai meninggi tapi pagi-nya masih sama, masih sunyi dan masih dingin. Tanpa bisa dicegah, sebulir cairan bening meluncur melewati pipi tirusnya, membasahi punggung tangan dalam genggamannya.

Sosok jangkung itu beranjak setelah mengecup lembut kening tubuh lemah itu, meninggalkan kekasihnya dalam hening kamar rumah sakit, menutup pintu tanpa menimbulkan suara. Lima menit langkah itu berayun menjauh, jari-jemari tubuh lemah yang terbaring tadi bergerak, gerak pelan, teramat pelan. Tenggorokannya yang tercekat berusaha mengeluarkan suara kering.

Kedua matanya masih terpejam, tetapi menunjukkan pergerakan. Lamat-lamat, suaranya kembali terseret keluar, dengan lemah. Begitu lemahnya sampai hening seolah tak terpecah.

"P-pr-ras... P-prasetya...."

***

Pertemuan seluruh dokter dari berbagai divisi selesai lima menit yang lalu. Sasti membenahi laporan dan catatan medis dari setiap pasien di bawah tanggung jawabnya dan menyusunnya sesuai urutan. Setiap dua bulan sekali Rumah Sakit Harapan mengadakan evaluasi rutin bagi seluruh dokter, guna mengetahui sejauh mana kemajuan dokter serta pasien yang dipegangnya.

Tepukan di bahunya membuat Sasti menoleh. Dokter Rahma, dokter senior di divisinya tersenyum hangat dan menyapa pelan. "Dokter Sasti, bisa minta waktunya sebentar? Ada yang mau saya bicarakan sama Dokter."

Sasti mengangguk pelan. "Oh, ya. Bisa, Dokter Rahma," kemudian mengikuti Dokter Rahma ke ruangannya.

"Bagaimana bekerja di sini, Dokter Sasti, betah?" tanya Dokter Rahma begitu mereka sampai di ruangan miliknya.

Sasti tersenyum lebar. "Alhamdulillah, Dok. Sejauh ini saya nggak merasakan ada yang perlu saya keluhkan. Semoga pasien yang saya tangani juga nggak mengeluhkan soal saya."

"Sepertinya nggak ada. Suster Rivi sesekali kasih tahu saya kalau banyak pasien yang malah maunya diperiksa sama Dokter," timpal Dokter Rahma, tersenyum hangat. "Bagaimana sama Shifa? Apa ada kemajuan setelah operasi?"

PRAS-SASTINơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ