Siraman Pagi

34.7K 3.5K 64
                                    

            "Widiiihhhh... itu mata apa biji salak? Gede banget!"

Sasti buru-buru menutupi wajahnya dengan kedua tangan begitu mendengar seruan menyebalkan Ares. Ekor matanya melirik tajam dan menggeramkan Ares kesal. Kakaknya itu benar-benar cari masalah. Sepagian ini saja entah sudah berapa banyak hal yang dikomentarinya.

"Nggak usah komen deh, Mas! Kerja aja sana," tukas Sasti galak. Wajahnya ditekuk dalam. Tangannya dengan kasar menyendok nasi goreng dan telur mata sapi, memakannya dengan perasaan setengah hati.

Ares terkekeh kecil melihatnya, lalu ikut duduk di kursi tepat di depan Sasti. "Itu mata habis kamu apain, Dek? Kamu rendem di minyak tanah ya sampe bengkak begitu?" godanya tertawa jahil.

Sasti memutar matanya malas. "Kepo banget, Mas. Udah sana, Mas pergi kerja. Udah jam berapa tuh, nanti telat lagi," ujar Sasti keki. Ares tertawa lagi. Matanya melirik jam di pergelangan tangannya. "Kamu sendiri nggak ke rumah sakit?"

Sasti menggeleng. "Sas lagi tukeran cuti sama dokter Ari," katanya. Ares manggut-manggut. "Malu juga ke rumah sakit kalo mata masih gede kayak abis digebukin begitu ya?" celetuk Ares tertawa meledek. Sasti hanya mencebikkan bibir.

"Lagian kamu tuh, Dek, udah gede juga, masih aja cengeng," komentar Ares sambil ikutan mencomot telur. Sasti mendengus pelan. "Namanya juga cewek, Mas, wajar kali," cetusnya acuh. "Eh, iya, Ayah sama Bunda mana, Mas? Kok sepi-sepi aja kedengarannya?" lanjut Sasti bertanya sambil mengedarkan pandangan.

"Ayah lagi nganter Bunda ke pasar, sekalian pacaran lagi," sahut Ares di tengah kunyahannya. Sasti mengangguk-angguk. "Udah sana mandi. Jorok banget kamu, belum mandi udah sarapan. Mana bau lagi." Ares bergidik geli memerhatikan Sasti yang semrawut. Adiknya benar-bena kelihatan kacau.

Sasti bersungut-sungut manyun menanggapi komentar Ares. "Sas udah cuci muka dan sikat gigi kali, Mas. Lagian, biar bau juga masih ada yang mau," sahutnya santai, lalu menyendokkan nasi ke dalam mulut.

Sebelah alis Ares naik dengan gaya mengejek. "Yakin tuh beneran mau? Hahaha..."

Sahutan Ares praktis menghentikan gerakan tangan Sasti, sendok dalam mulutnya ikut terhenti dan mogok di tempat. Mendadak, napsu makan Sasti hilang. Meskipun kata-kata Ares barusan hanya sebuah candaan, tapi cukup mencubit hati Sasti.

Ares benar, apakah ia yakin kalau Pras benar-benar ingin bersamanya? Benar-benar mau dengannya? Mengingat bagaimana pembicaraan mereka kemarin sore, jelas sekali kalau Pras tidak menaruh hati padanya. Laki-laki itu bahkan masih menyimpan semua tentang perempuan bernama Vera yang ada di masa lalunya. Lalu, apa yang membuat Sasti yakin Pras mau dengannya?

Sasti menarik sendok dalam mulutnya dan menelan nasi yang belum sepenuhnya hancur secara buru-buru, memaksa kerongkongannya menelan dengan berat. Perasaan sesak kembali menyeruak dalam batinnya, membuat matanya mengabut dan ingin menangis.

Sepulangnya dari kediaman keluarga Antares kemarin sore, Sasti tidak lagi ke luar kamar. Ia mengurung diri selama mungkin dan melewatkan makan malam. Sasti menghabiskan waktunya dengan terus menangis dan menangis, sampai matanya kelelahan dan kemudian tertidur tanpa mengganti baju dan cuci muka.

Sasti menyesal akan sikapnya yang sok menerima saat itu. Harusnya ia marah-marah saja dan kalau perlu meminta Pras membatalkan pernikahan, atau setidaknya menundanya sampai Pras benar-benar bisa menerima kenyataan kalau dirinya-lah yang akan dinikahi Pras, bukan Vera atau siapapun. Harusnya Sasti bisa tegas dan meminta Pras melupakan Vera. Harusnya...

Alih-alih berpikir apa yang seharusnya ia lakukan kemarin, Sasti malah menggeram sendiri. Ia merutuki dirinya yang mendadak jadi melow dan lemah. Apalagi saat ia bangun tadi dan menemukan matanya sudah sebesar biji salak, membuatnya gemas sendiri. Ares benar, ia berubah jadi gadis cengeng, padahal usianya sudah dua puluh empat tahun. Harusnya ia bisa lebih kuat dan dewasa. Bukan jadi lembek seperti sekarang.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now