Bimbang

53.7K 4.9K 75
                                    

            "Alhamdulilah... iya, Lik, nanti aku sampaikan. Terima kasih banyak, Lik. Iya.. oke! Aku sama anak-anak pasti dateng. Ya. Waalaikumsalam..."

            Haris tersenyum sumringah dan tak henti mengucap syukur begitu sambungan terputus. Dalam hati terus menggumam asma Allah sebanyak mungkin, bersyukur sekaligus berterimakasih pada Sang Pemilik Hidup.

            Gurat bingung sang istri menyambutnya begitu tubuhnya berbalik. Senyumnya sekali lagi terulas lebar, semakin menambah kebingungan di wajah Anindya.

            "Ada apa, Mas? Kok senyum-senyum gitu? Habis dapet telepon dari siapa, sih?"

            Anindya meletakkan kopi pesanan Haris yang masih mengepul di atas meja di samping ranjang, lalu ikut duduk di samping Haris. Wajah suaminya kelihatan begitu senang.

            Haris tersenyum lagi, lalu memeluk Anindya dari samping, membuat istrinya makin kebingungan.

            "Mas, kok malah peluk-peluk gini? Aku tanya ada apa, loh? Mas nggak—"

            "Lamaran aku diterima, Nin," jawab Haris pendek. Anindya yang belum mengerti masih mengerutkan dahi. "Lamaran? Lamaran apa? Mas ngelamar kerja?" tanya Anindya beruntun.

            Haris terkekeh kecil, semakin mengeratkan pelukannya pada sang istri dan menumpukkan dagunya di bahu Anindya. "Bukan lamaran kerja, Istriku Sayang... tapi lamaran perjodohan. Kamu ingat nggak sama anaknya Malik yang paling kecil?"

            Kening Anindya semakin berlipat dalam, mengingat-ingat nama salah satu sahabat terdekat suaminya. "Maksud mas... Mas Malik suaminya Mba Jenar? Sahabat kamu yang dari Jogjakarta?"

            Haris mengangguk. "Iya. Beliau kan punya anak gadis yang masih lajang, dan belum lama ini aku ketemu sama anaknya. Di cantik dan ayu, kayak kamu."

            Kepala Anindya langsung tertoleh ke kiri, menatap penuh tanya pada Haris yang masih sumringah. "Kamu nggak niat menikah lagi, kan, Mas?"

            Haris menarik pucuk hidung Anindya gemas, lalu memeluknya lagi. "Jelas nggak lah, Nin. Aku udah cinta mentok sama kamu," jawab Haris, lagi-lagi mengeratkan pelukannya. Tapi sedetik mengaduh karena Anindya  mencubit tangannya gregetan. "Serius, Mas! Kamu ngelamar anaknya Malik buat siapa?"

            "Buat Pras." Haris menjawab cepat. Senyumnya kembali terbentuk lebar. "Kamu masih ingat 'kan apa yang aku omongin sama Pras di meja makan kemarin?"

            Anindya mengangguk. "Soal anak sahabatmu yang jadi dokter itu, yang mau kamu jodohin sama Pras?"

            Haris mengangguk. "Ya, dia itu anaknya Malik. Namanya Sasti. Sudah dua puluh empat tahun dan belum punya calon. Belum lama ini aku mengajukan lamaran secara pribadi pada Malik atas Sasti untuk Pras. Aku merasa Sasti adalah wanita yang tepat buat anak kita. Kepribadian mereka memang agak terbalik, tapi kalo kamu udah ketemu sama anaknya, kamu juga pasti sependapat sama aku. Ketemu Sasti kayak ketemu anak sendiri," terang Haris tersenyum senang.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now