Sebuah Kepergian

62K 5.3K 1.4K
                                    

            Pras menatap pantulan dirinya dalam cermin lebar di dalam kamar. Ia sedang mengenakan kaus lengan pendek warna biru dan celana kain hitam panjang. Wajahnya lembap dan rambutnya basah. Ia baru selesai mandi dan menemukan antukan kruknya terhenti tepat di depan cermin lemari.

Sudah lama sekali Pras tidak mengamati refleksinya dalam cermin. Terkadang, memandangi pantulan dirinya sendiri mengingatkannya bahwa ia telah melakukan banyak kesalahan. Terutama apa yang telah dilakukannya beberapa hari lalu, mengunjungi Vera tanpa sepengetahuan Sasti. Ia menyesali apa yang sudah ia lakukan dan yang tidak seharusnya terjadi. Beberapa kejadian di hari-hari belakangan membuatnya banyak merenung, memikirkan semuanya dari awal dan lagi-lagi perasaan bersalah menggulungnya.

Pras menatap bayangannya sendiri, seolah sedang mencoba mengenal kembali sosok yang mulai dilupakannya. Bayangan itu tidak sekekar beberapa tahun silam, tapi juga tidak serapuh tahun lalu. Meski harus bergantung dengan sepasang kruk, tapi Pras merasa ia sanggup melakukan hal-hal kecil sendirian. Sasti terus melatihnya agar mengerahkan seluruh kemampuan untuk bergerak. Kelumpuhan tidak menjadi batasan untuknya melakukan apa yang ia inginkan.

Mengingat nama perempuan itu, Pras disergap hangat dan nyeri bersamaan. Hubungan mereka sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kedatangan Eyang Adeline dan perdebatan dengan Valindra tempo hari semakin memperparah keadaan. Harusnya ia bisa membela Sasti walau sedikit. Tetapi pikirannya yang sedang kacau membuatnya tak mampu melakukan apa-apa.

Pras mengusap wajahnya dan membuang napas berat. Berkurangnya pesan-pesan yang dikirimkan Sasti membuatnya merindukan perempuan itu. Beberapa waktu belakangan, mereka lebih banyak saling diam dan hanya bertanya seperlunya tanpa jawaban yang panjang.

Ia menyadari dirinyalah yang memulai semuanya. Tapi perlahan, ia juga menyadari apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Pras ingin memperbaiki semuanya, ingin memulai lagi dari awal. Ia sudah memutuskan akan berdamai dan memaafkan dirinya untuk kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan ia akan memulainya dengan membuang sesuatu yang selama ini masih ia simpan.

Sudut mata Pras melirik jam yang menggantung di tembok, lalu melangkah pelan menuju ruang kerja pribadinya. Ia akan membuang benda itu dan akan memulai semuanya dari awal bersama Sasti. Ia akan belajar dan berusaha menatap Sasti dengan sebenar-benarnya.

----------------------------------------

Pintu ruang kerja Pras terbuka lebar. Cahaya terang menyelisip melalui daun pintu sampai menabrak tembok di bagian depan. Suara buku-buku dan barang-barang berjatuhan terdengar tumpang tindih dari sana. Laci yang ditarik buru-buru dan ditutup dengan bantingan. Antukan kruk cepat-cepat serta geraman rendah.

Sasti mengernyitkan kening dalam-dalam, melirik jam yang menggantung di tembok ruang tv yang masih terang meski tak ada siapa pun di sana. Jam sepuluh malam, batinnya. Suasana di rumah sudah sepi tapi ruang kerja Pras malah sebaliknya.

Meletakkan tas dan jas dokternya, Sasti berderap pelan menuju ruang kerja Pras. Ia melongokkan kepala dan menemukan ruangan itu berantakan seperti habis dihajar badai besar. Sasti semakin bingung. Ia masuk perlahan dan buru-buru mendekat saat melihat Pras kesulitan mengangkat kardus usang besar di atas sebuh meja di sudut ruangan.

Cepat-cepat Sasti mengambil alih kardus itu ke dalam dekapannya, mengabaikan Pras yang tersentak kaget karena kedatangannya. "Mau ditaruh di mana, Mas?" tanyanya.

Pras diam sesaat, menatapnya, lalu menunjuk meja rendah di tengah ruangan. "Di sana aja."

Sasti mengangguk dan meletakkan kardus sesuai keinginan Pras. Tatapannya kembali menyebar ke seisi ruangan. "Lagi beres-beres atau apa, Mas, berantakan banget?" tanyanya.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now